Proyek kerja sama teknis regional yang diinisiasi IAEA
Jakarta (ANTARA) - Limbah plastik menjadi persoalan yang sangat serius dan mendesak untuk diatasi baik dalam ranah dalam negeri maupun tingkat global.

Sampah plastik mencemari lingkungan baik di darat maupun perairan sehingga menjadi ancaman bagi kelestarian bumi yang merupakan tempat tinggal makhluk hidup.

Indonesia setiap tahunnya menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik, yang mana sekitar 61 persen diantaranya tidak terkelola dengan baik, sementara itu diperkirakan 620.000 ton sampah plastik masuk ke perairan Indonesia pada 2017.

Jika tidak dilakukan intervensi apapun, maka diperkirakan 2025 akan terjadi peningkatan 30 persen menjadi 780.000 ton sampah tiap tahun masuk ke perairan.

Untuk mengatasinya, Indonesia mempunyai rencana aksi ambisius untuk mengurangi 70 persen sampah plastik, mengurangi limbah padat hingga 30 persen, dan mengelola 70 persen limbah padat pada 2025.

Pemerintah Indonesia menyiapkan rencana aksi nasional penanganan sampah laut. Ada Lima strategi yang telah diterapkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Laut yakni gerakan nasional peningkatan kesadaran para pemangku kepentingan, pengelolaan sampah yang bersumber dari darat, penanggulangan sampah di pesisir dan laut, mekanisme pendanaan, penguatan kelembagaan, pengawasan dan penegakan hukum, dan penelitian dan pengembangan.

Salah satu strategi yang difokuskan adalah peningkatan penelitian dan pengembangan untuk menanggulangi sampah plastik sehingga diharapkan berbagai hasil riset dan inovasi dapat berkontribusi besar dalam penanganan sampah plastik di Tanah Air.

Dengan berbagai rencana aksi penanganan sampah yang dilakukan secara maksimal, maka Indonesia berharap mencapai polusi plastik mendekati nol pada 2040.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memanfaatkan teknologi nuklir untuk mengatasi masalah limbah plastik dengan cara mengolah sampah plastik untuk mengembangkan produk baru bernilai tambah dan mendeteksi sampah mikroplastik di laut.

Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan mengatakan lembaganya melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan terkait pengelolaan limbah plastik dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) nuklir. Kegiatan itu bahkan juga mendapat dukungan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) dalam satu proyek yang bernama program Nuclear Technology for Controlling Plastic Pollution (NUTEC Plastics).

IAEA meminta Indonesia untuk menjadi negara percontohan (pilot country) untuk tiga fase proyek implementasi NUTEC Plastics, yaitu penguatan penanganan limbah plastik di sektor hilir, pembangunan demo plant, dan upstreaming pemanfaatan teknologi iradiasi penanganan limbah plastik.

Pada prinsipnya, melalui pemanfaatan Iptek nuklir, Batan berupaya menangani dua hal yakni pertama adalah pemanfaatan iradiasi untuk mengolah sampah plastik menjadi komposit kayu plastik atau Wood Plastic Composite (WPC), yakni suatu bahan yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk berbagai produk rumah.

Kedua adalah melakukan analisis pergerakan mikroplastik, yaitu limbah plastik mikro yang tersebar di pantai atau laut. Analisis itu dilakukan dengan menggunakan radio isotop tertentu sebagai perunut.

Baca juga: Batan perketat pengelolaan limbah nuklir

Baca juga: BATAN : PNBP pengelolaan limbah radioaktif naik setelah pakai daring


Menurut Koordinator Bidang Proses Radiasi Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan dan National Project Coordinator RAS1024 terkait project Recycling Plastics Tita Puspitasari, pengelolaan limbah plastik dengan memanfaatkan Iptek nuklir dilaksanakan menggunakan teknologi radiasi pengion baik yang bersumber dari sinar gamma maupun mesin berkas elektron untuk memodifikasi material.

"Sehingga dihasilkan material fungsional baru yang memiliki nilai tambah. Saat ini kegiatan tersebut dilakukan melalui proyek kerja sama teknis regional yang diinisiasi IAEA yakni proyek RAS1024," katanya.

Pemanfaatan iradiasi untuk mengolah sampah plastik dapat digunakan untuk mengembangkan produk baru, salah satunya berupa Wood Plastics Composite (WPC) atau disebut komposit kayu plastik yang dibuat berbasis limbah plastik dan limbah biomassa.

Produk itu bisa dipakai untuk menggantikan produk kayu baik untuk produk di dalam ruangan (indoor) maupun di dalam ruangan (outdoor).

Kelebihan produk komposit tersebut adalah tahan air dan rayap akan tetapi memiliki penampakan seperti kayu. Pengolahan sampah plastik seperti polietilena (PE) dan polipropilena (PP) yang banyak dipakai sebagai kemasan sekali pakai untuk dibuat produk komposit itu, maka akan memperpanjang masa pakai plastik tersebut sehingga bisa mengurangi potensi pencemaran.

Dalam pembuatan komposit tersebut dibutuhkan bantuan suatu bahan yaitu compatibilizer yang dapat memadukan komponen plastik dan biomassa sehingga campurannya menjadi lebih homogen.

Teknologi radiasi dapat berperan untuk menghasilkan compatibilizer melalui teknik kopolimerisasi cangkok menggunakan radiasi; nanoselulosa dari limbah biomassa melalui teknik degradasi radiasi; dan meningkatkan kekuatan mekanik komposit melalui teknik ikatan silang radiasi.

Pengembangan prototipe produk itu diharapkan sudah bisa rampung di akhir proyek RAS1024 yaitu di akhir tahun 2024 jika situasi dan kondisi bisa segera kembali kondusif.

Sementara pelacakan keberadaan limbah mikroplastik di pantai atau laut bisa dilakukan dengan aplikasi teknik nuklir. Keberadaan mikroplastik tersebut dapat diketahui dari depositnya di dalam sedimen menggunakan teknik isotop alam yaitu teknik Pb (Timbal)-210 dating.

Teknik tersebut digunakan untuk mengetahui sudah berapa lama plastik atau mikroplastik terdeposit di dalam lapisan sedimen.

Melalui teknik itu, umur sedimen dapat diketahui sampai dengan 150 tahun yang lalu (geokronologi) dan dengan menggunakan alat Fourier Transform Infra Red Spektroscopy (FTIR). Selanjutnya mikroplastik yang sudah terdeposit dalam sedimen tersebut bisa diketahui jenisnya.

Teknik lainnya adalah teknik pelabelan isotop sebagai tracer yang bisa digunakan untuk mempelajari efek mikroplastik di dalam biota-biota laut yang tercemar plastik. Teknik itu sudah dikembangkan di laboratorium IAEA di Monaco.

Kegiatan pemantauan (monitoring) mikroplastik di laut dengan menggunakan teknik nuklir yang dikoordinasikan oleh IAEA baru akan dimulai pada 2022 melalui RAS2021001 Project.

Dalam program NUTEC Plastics, Batan mendapatkan kepercayaan dari IAEA untuk mengembangkan produk inovatif berbasis plastik daur ulang. Kegiatan pengembangan tersebut diharapkan bisa menjadi percontohan untuk selanjutnya dapat diterapkan oleh negara-negara lain.

Dukungan IAEA dalam NUTEC Plastics sangat besar yakni melalui peningkatan pembangunan kapasitas baik sumber daya manusia (SDM) maupun infrastrukturnya melalui RAS1024, RAS2021001, TC Project dan Research Contract atau CRP.

Project NUTEC Plastics direncanakan selesai pada 2025 dan memungkinkan bisa diperpanjang lagi setelah dievaluasi.

Implementasi teknologi nuklir dalam program NUTEC Plastics tersebut ditargetkan dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah limbah plastik baik di hulu yaitu pada tanah (upstream) dengan cara melakukan daur ulang (recycling) pada sampah plastik untuk menghasilkan produk-produk yang bermanfaat, maupun masalah mikroplastik di hilir yaitu di lautan (downstream) dengan cara melakukan pemantauan mikroplastik menggunakan teknik radioisotop.

Dengan demikian, diharapkan masalah sampah plastik akan bisa diatasi dan dikelola dengan lebih baik ke depannya sehingga dapat mencegah masalah dan dampak pencemaran terhadap lingkungan yang lebih merusak.

Baca juga: Batan manfaatkan teknologi nuklir perbaiki fungsi lahan

Baca juga: Batan: Integrasi riset dan inovasi dukung Indonesia maju

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021