Makassar (ANTARA) - Rempah nusantara dengan kekhasan masing-masing, telah menjadi penguatan budaya di daerah asalnya. Sebut saja, Maluku yang terkenal sebagai produsen rempah jenis pala dan merica, bahkan di pulau tertentu seperti Pulau Namlea dikenal sebagai produsen minyak kayu putih.

Kemudian jika ditarik ke Sulawesi, di bagian utara terdapat cengkeh dan pala sebagai komoditas primadona masyarakat yang umumnya diekspor ke Amerika Serikat dan Belanda. Sedang di selatan Sulawesi terdapat komoditas andalan seperti cengkeh, merica, kayu manis, kemiri dan ketumbar dari sentra produksi di antaranya Kabupaten Enrekang, Sinjai, Bone dan Bulukumba.

Dua potret yang menggambarkan potensi rempah-rempah di Indonesia bagian timur, menjadi perwakilan dari napak tilas kejayaan rempah-rempah nusantara yang kemudian mengglobal menjadi warisan dunia (World Heritage) yang siap mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yakni United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2024.

Kemasyhuran rempah-rempah Indonesia sudah dikenal hingga ke luar negeri sebelum abad ke-5 Masehi. Hal itu tertulis dalam kronik India dan Tiongkok, di mana pedagang dari sejumlah kerajaan di Nusantara sudah menguasai niaga komoditas berbau harum yakni cengkeh dan pala.

Tercatat Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa di kawasan barat hingga tengah mulai abad ke-8 hingga ke-10 dengan mengontrol seluruh lintas laut bangsa Barat dan Tiongkok menuju ke rute kepulauan rempah-rempah, termasuk ke jalur Selat Malaka.

Sementara di kawasan timur, dengan menyatunya dua kerajaan yakni Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kekuatan tersendiri dalam penguasaan jalur rempah di Kepulauan Selayar, Buton, Kepulauan Sula dan Maluku.

Mencermati kejayaan masa lalu itu, sekaligus mendukung Jalur Rempah Indonesia dalam kancah internasional, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan pada November - Desember 2020 memfasilitasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan untuk melaksanakan Inventarisasi Situs Jalur Rempah yang berada di Wilayah Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.

Kegiatan tersebut diawali dengan diskusi Jalur Rempah di Sulawesi Selatan dan akhirnya diputuskan empat lokasi penelusuran situs sesuai dengan latar belakang sejarahnya yakni Kota Makassar, Parepare, Kabupaten Gowa dan Pinrang.

Menurut Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel Laode Muhammad Aksa, dalam kurun dua bulan tim melakukan inventarisasi dengan memadukan antara data toponim dari kitab kuno Lontara dengan kondisi saat ini.

Dari hasil inventarisasi itu diketahui, jalur rempah di Sulsel umumnya dikuasai daerah yang memiliki topogragfi tanah di dataran tinggi dan berhawa sejuk seperti di Kabupaten Enrekang, Parepare, Sinjai dan Gowa.

Sementara Kota Makassar sebagai pelabuhan terbesar di kawasan timur memiliki peran penting yang menghubungkan antara jalur rempah Nusantara dengan mancanegara. Kini, rempah-rempah asal beberapa sentra penghasil di Sulsel diekspor degan produk yang lebih variatif dibandingkan pada masa lalu.

Hal itu dibenarkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulsel Ashari F Radjamilo pada keterangan terpisah.

Dia mengatakan, pengiriman ekspor rempah-rempah ke Eropa berupa kemiri, kayu manis dan ketumbar secara ‘direct call’ atau pengiriman langsung dari Terminal Peti Kemas Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar untuk pertama kalinya dilakukan pada 12 April 2021. Selama ini melalui pelabuhan di Surabaya atau Jakarta.

Namun setelah PT Pelindo IV Makassar mendapat kebijakan dari pemerintah pusat untuk melakukan ekspor langsung ke luar negeri, maka makin terbuka kesempatan bagi petani dan eksportir menjajaki pasar mancanegara dan mengembalikan kejayaan masa lalu.

Dari ekspor hingga herbal

Kendati rempah-rempah dari segi volume dan nilai ekspor belum mampu melampaui komoditas lainnya seperti nikel, rumput laut, kacang mete, kakao dan udang segar, namun rempah-rempah telah menyumbang nilai ekspor Sulsel naik 19,15 persen pada triwulan I 2021. Kondisi itu juga diikuti pada triwulan II pada tahun yang sama.

Menurut Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, dalam kondisi pandemic COVID-19 Pemerintah Provinsi Sulsel terus berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu upaya tersebut melalui peningkatan nilai ekspor ke luar negeri yang diantaranya ekspor rempah-rempah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel, nilai ekspor Sulsel triwulan I 2021 tercatat Rp4,21 triliun atau tumbuh 19,15 persen dibandingkan periode yang sama 2020.

Ini menjadi bukti bahwa Pemprov Sulsel terus berusaha membantu pemulihan ekonomi nasional dengan mendorong peningkatan komoditas ekspor.

Di sisi lain, pemanfaatan rempah jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, orang-orang Tionghoa dan India sudah lebih awal menelusuri jalur pusat rempah-rempah di Indonesia, termasuk di Kawasan Timur Indonesia.

Citra rempah-rempah pada awalnya cenderung melekat sebagai afrodisiak ketimbang pecita rasa makanan. Hal ini diungkapkan filsuf Theophrastus (ca. 372-287 M) bahwa rempah-rempah banyak digunakan oleh tabib daripada juru masak.

Hal itu dibenarkan salah seorang herbalist Daeng Bani di Makassar yang sudah lebih 20 tahun menggunakan rempah-rempah sebagai terapi pengobatan sejumlah penyakit.

Menurut pembawa acara “Tambara’ Gamasi” di salah satu radio swasta di Makassar, rempah-rempah menjadi komposisi utama dari obat herbal racikannya, mulai dari ketumbar, pala hingga merica selalu digunakan untuk mencampur bahan herbal lainnya.

Dari pendengar radio yang banyak menanyakan obat herbat itu, lanjut dia, pihaknya berbagi informasi pemanfaatan rempah-rempah sebagai bahan obat herbal dan patut disyukuri, karena sebagian besar yang pernah mengeluh sakit, akhirnya sembuh dengan terapi rempah-rempah.

Hal senada dikemukakan tabib khusus tulang dan syaraf, H Salahuddin DM di Makassar.

Dia mengatakan, untuk membuat ramuan minyak gosok mengobati pasiennya, sedikitnya membutuhkan 10 jenis rempah. Karena itu, kekayaan rempah dan pemanfaatannya harus dilestarikan dan diteruskan ke generasi muda.

Menelaah perdagangan rempah dengan menelusuri jalur rempah di masa lalu, sadar ataupun tidak hal itu telah menghasilkan interaksi antarmasyarakat dan antarbudaya dari berbagai negara. Kondisi itu juga turut mempengaruhi perjalanan kekuasaan politik dan sosial budaya bangsa Indonesia.

Yang jelas, dalam merevitalisasi jalur rempah, bukan sekadar untuk kepentingan sejarah, namun juga untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Karena itu, patut didukung rencana Kemendikbud yang menetapkan target pada 2024 menjadikan Jalur Rempah sebagai warisan budaya yang diakui oleh UNESCO.

Baca juga: UI-Kemendikbud-UNUSIA gelar simposium internasional bahas jalur rempah
Baca juga: Sejarawan: Jalur rempah perlu dijadikan sebagai subjek sejarah
Baca juga: Arsitek: Jalur rempah mempengaruhi bangunan arsitektur di Indonesia

 

Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021