Kolombo (ANTARA News/Reuters) - Sri Lanka hari Minggu menyatakan akan mengizinkan PBB mengirim utusan untuk bergabung dengan panel penyelidik kejahatan perang yang dibentuk pemerintah negara tersebut.

Meski itu berarti membatalkan larangan sebelumnya yang diberlakukan Sri Lanka atas keterlibatan internasional, para analis menyatakan langkah tersebut tidak banyak berarti bagi kredibiitas komisi lokal itu.

Negara pulau itu sebelumnya menolak panel tiga orang yang dibentuk Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon untuk mengkaji kemungkinan kejahatan perang dalam konflik 25 tahun dan mengesampingkan visa bagi para anggota panel itu jika mereka ingin mengunjungi Sri Lanka untuk penyelidikan.

Namun, sebuah pernyataan kementerian luar negeri mengatakan, pemerintah Kolombo kini akan menyambut baik keterlibatan PBB dalam komisi lokal yang dibentuk Presiden Mahinda Rajapaksa untuk menyelidiki akhir perang itu.

"Jika panel Sekretaris Jendral (PBB) ingin mengirim wakil ke komisi (lokal), Kementerian Luar Negeri akan membuat pengaturan yang diperlukan untuk memungkinkan panel tesebut bisa melakukan hal itu," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

"Sikap ini telah disampaikan melalui saluran-saluran diplomatik, ke PBB di New York," katanya tanpa penjelasan terinci.

Pembunuhan masa perang yang dilakukan militer terhadap gerilyawan Macan Tamil disertai tuduhan-tuduhan kejahatan perang, dan PBB, negara besar Barat serta kelompok hak asasi manusia mendorong penyelidikan atas kemungkinan pelanggaran oleh kedua pihak.

Sejumlah tayangan video dan foto mengenai pembunuhan itu telah beredar.

Pada Januari, utusan HAM PBB Philip Alston menyimpulkan bahwa tayangan video yang dikabarkan sebagai pasukan Sri Lanka yang mengeksekusi gerilyawan Macan Tamil tak bersenjata adalah otentik dan ia mendesak Kolombo menyetujui penyelidikan mengenai kejahatan perang.

Sri Lanka membentuk tim penyelidik sendiri, Komisi Rekonsiliasi dan Pengkajian (LLRC), yang kata para pengecam tidak bisa dipercaya dan berniat menutup-nutupi kejahatan.

Pihak berwenang menghalang-halangi media internasional untuk meliput proses penyelidikan itu.

Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei 2009 mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.

Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.

Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.

Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.

Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.

Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, juga menolak seruan-seruan bagi gencatan senjata dan menekankan bahwa Macan Tamil harus meletakkan senjata dan mengizinkan warga sipil keluar dari daerah-daerah yang masih mereka kuasai.

Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.

Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.

PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.

Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.

Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala.(M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010