Semarang (ANTARA) - Perbincangan mengenai Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang merupakan transformasi dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) agaknya masih di persimpangan. Mau pilih produk hukum berupa ketetapan MPR atau undang-undang?

Jika melihat hierarki berdasarkan pasal 7 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15/2019, posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) lebih tinggi daripada undang-undang.

Dengan demikian, siapa pun yang menjadi Presiden RI mau tidak mau harus mematuhi Tap MPR tentang PPHN. Beda jika produk hukum itu dalam bentuk UU, seperti yang berlaku sekarang UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (UU RPJPN), berpotensi di tengah jalan "ditorpedo" oleh Perppu.

Apalagi, berdasarkan pasal 22 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu. Ditambah lagi, posisi di parlemen kuat, kemungkinan besar mendapat persetujuan DPR.

Terkait dengan frasa "kegentingan yang memaksa", dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 (halaman 19) disebutkan bahwa penerbitan perpu diperlukan dalam tiga kondisi: Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Peluang PPHN dalam bentuk UU "ditorpedo" oleh Perppu sangat mungkin terjadi sehingga muncul kekhawatiran tidak akan ada kesinambungan dalam pembangunan. Hal inilah yang disampaikan sejumlah kalangan, termasuk Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Keberadaan PPHN yang bersifat filosofis, menurut ketua MPR, menjadi penting untuk memastikan potret wajah Indonesia masa depan, 50—100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, serta teknologi dan informasi.

Pada sisi lain, adakah jaminan suatu ketetapan MPR bertahan selama 50-100 tahun? Tentu tidak ada jaminan, UUD pun tidak ada jaminan untuk tidak diubah setiap saat. Bahkan, hal yang sangat mungkin terjadi ketetapan MPR dapat diubah setiap lima tahun sekali karena setiap lima tahun itu terjadi perubahan komposisi kekuatan politik di MPR.

Banyak sekali ketetapan MPR yang ditetapkan pada masa pemerintahan presiden pertama RI Soekarno, dicabut dan dibatalkan pada masa pemerintahan presiden kedua RI H.M. Soeharto, termasuk GBHN, sehingga berlaku hanya beberapa tahun.

Demikian pula ketetapan MPR pada masa pemerintahan Soeharto, hampir semuanya dicabut pada masa pemerintahan reformasi, termasuk GBHN 1998 yang hanya hidup beberapa bulan kemudian dicabut.

Fakta sejarah ini, kata pakar hukum tata negara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H., memberikan bukti bahwa tidak ada jaminan ketetapan MPR berlaku sampai 50—100 tahun. Jadi, persoalannya bukan pada teks dan norma tertulis yang setiap saat bisa diubah karena perubahan sosial dan komposisi kekuatan politik, melainkan hati sanubari dan budaya politik (budaya konstitusi) para pemimpin yang berkuasa.

Tembok Cina yang dibangun beratus ratus tahun secara berkesinambungan, misalnya, bukanlah karena konstitusi dan teks tertulis, melainkan karena budaya dan kesadaran keselamatan bangsa dan negara yang melekat dalam hati sanubari dan budaya setiap pemimpin di negeri itu.

Konflik Konstitusional
Penambahan wewenang MPR menetapkan PPHN ini disebut Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva merupakan salah satu contoh konflik konstitusional, yaitu adanya perbedaan pandangan mengenai jalan konstitusional manakah yang diambil untuk menjamin adanya pokok-pokok haluan negara dapat berlaku dalam jangka panjang.

Ketika konflik dan problem konstitusional ini terjadi, tampaknya perlu mengembangkan budaya hidup berkonstitusi karena hal ini lebih penting ketimbang persoalan teks konstitusi.

Apalagi lahirnya teks hukum, termasuk konstitusi, tidak dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi lingkungan sosial, budaya, dan sejarah bangsa itu sehingga teks bisa diubah kapan saja.

Dikatakan pula bahwa teks konstitusi adalah refleksi budaya sekaligus cita ideal yang dikehendaki. Namun, dalam pelaksanaannya tidak berada di menara gading, tetapi berhadapan kondisi politik dan sosial budaya yang dinamis.

Pasalnya, makna teks dapat berubah atau diubah menyesuaikan dengan kebutuhan bangsa dan negara di setiap masa. Perubahan-perubahan makna dari teks yang sama, dengan tetap berpegang pada tujuan dan cita bernegara, adalah bagian dari budaya berkonstitusi.

Tidak pelak lagi, antara satu masa dan masa yang lain tantangannya tidak sama sehingga implementasi norma konstitusi pun harus mengalami adaptasi.

Ia menilai kebanyakan para akademikus, apalagi para politikus dan birokrat, melakukan pendekatan yang tidak imbang dalam memandang kekuatan mengikat dan legitimasi norma konstitusi maupun dalam memahami norma konstitusi yang ada sehingga hanya melihat hukum pada teks semata-semata. Orientasinya selalu formal legalistik.

Satu teori hukum yang sudah sangat dikenal dalam ilmu hukum yang dikemukakan oleh L. Friedman, efektivitas hukum harus dilihat sebagai sebuah sistem yang saling terkait, yaitu teks dan substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum.

Ketika menghadapi konflik dan problem konstitusional, para politikus dan birokrat akan selalu berfokus pada teks konstitusi, undang-undang, dan putusan pengadilan sebagai satu-satunya pendekatan dalam melihat apakah yang merupakan konstitusi dan apa yang tidak merupakan konstitusi.

Walaupun hal itu merupakan hal yang wajar pengaruh dari ajaran hukum kontinental dan positivisme hukum, menurut dia, pendekatan demikian sering kali tidak menyelesaikan masalah konstitutional yang terus tumbuh dan berkembang secara dinamis.

Perubahan sosial, politik, tekonologi, dan lingkungan internasional memaksa semua pihak memahami konstitusi dalam konteks kebutuhan sosial yang terus mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan pendekatan demokrasi yang terus berkembang dinamis.

Oleh karena itu, dalam membangun budaya konstitusi, dia memandang perlu negosiasi (bargains), musyawarah mufakat, penghormatan atas interpretasi konstitusi oleh lembaga peradilan, serta menghormati proses demokrasi, yaitu demokrasi konstitusional, bukan demokrasi yang hanya berdasarkan majority rule yang berdasarkan popular democracy.

Demokrasi konstitusional berperan sebagai pembatas segala kehendak yang melewati batas oleh popular democracy. Demokrasi mendinamisasi norma, sementara konstitusi mengekang perubahan. Dari sinilah, menurut Hamdan, budaya konstitusional memainkan peran strategis.

Budaya konstitusi merupakan asumsi-asumsi yang mendasari pembentukan konstitusi dan hal-hal yang memengaruhi pelaksanannya (Cheryl Saunders, 2022). Jadi, berkonstitusi dalam negara bukan hanya soal teks-teks dan struktur yang melembaga, melainkan juga berkaitan dengan nilai-nilai riil yang hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan demikian, akan lahir komitmen menyeluruh untuk mengimplementasikan substansi konstitusi sebagai sistem nilai yang terintegrasi, sebagai pola pikir dan perilaku dalam bernegara yang selaras satu sama lain.

Apabila budaya konstitusi menjadi bagian dari kultur kewargaan (civic culture) yang kuat, menurut dia, demokrasi di Tanah Air akan berkinerja baik dan budaya konstitusi tumbuh menjadi bagian penting bagi kehidupan negara ini.

Muncul Tanda Tanya
Terkait dengan konflik konstitusi ini juga sempat menjadi perbincangan dalam webinar bertajuk Membangun Budaya Konstitusi untuk Penguatan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan Salam Radio, Selasa (14/9).

Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam menyebutkan konflik konstitusional atau perbedaan pandangan mengenai PPHN memunculkan sejumlah pertanyaan. Hal ini mengingat penambahan wewenang MPR menetapkan PPHN mengharuskan adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Pertanyaan yang mencuat ke permukaan, antara lain, apakah untuk menjamin kesinambungan pembangunan harus dengan PPHN yang ditetapkan MPR? Apakah dengan dengan menambah wewenang MPR menetapkan PPHN menjamin penyelesaian masalah kesinmbungan pembangunan?

Berikutnya, pertanyaan yang mengemuka dalam kuliah umum secara virtual yang dipandu Titi Anggraini, apakah tidak ada pendekatan lain untuk menjamin kesinambungan itu selain amendemen UUD NRI Tahun 1945?

Berbagai pertanyaan tersebut harus dijawab dengan jernih untuk menemukan jalan konstitusional yang tepat dalam rangka untuk menjamin kesimbangunan pembangunan yang dicita-citakan.

Dalam kuliah umumnya, Hamdan juga menanggapi pendapat sebagian besar politikus yang melihat amendemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai sebuah keharusan karena cara pandang yang hanya mengutamakan pendekatan formal legalistik serta mengabaikan jalan budaya konstitusi dan demokrasi.

Segala masalah konstitusional ditimpakan pada teks dan norma konstitusi yang harus diubah direformulasi. Bahkan, peran pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang memberi tafsir atas problem konstitusional tidak menjadi pilihan.

Cara berpikir seperti inilah kemudian dia sebut sebagai cara berpikir yang tidak imbang, bahkan cara berpikir kacamata kuda. Mereka hanya memandang hukum dari norma yang ada dalam teks dan tidak melihat pada aspek lain dari hukum, yaitu dalam konteks berkerjanya hukum dan konstitusi dari kerangka budaya untuk mengatasi problem atau konflik konstitusional yang ada.

Copyright © ANTARA 2021