akan tayang pada 22 Oktober 2021
Banda Aceh (ANTARA) - Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh memproduksi film bernilai sejarah dengan judul 'Kura-Kura Berjenggut di Negeri Rempah', dengan latar belakang abad 17 masa Kesultanan Aceh.

"Film ini dibuat untuk konten Indonesiana TV dalam rangka festival Bumi Rempah Nusantara untuk dunia tahun 2021, dan akan tayang pada 22 Oktober 2021," kata Plt Kepala BPNB Aceh Nurmatias, di Banda Aceh, Sabtu.

Film tersebut diangkat dari sepenggal isi novel Kura-Kura Berjenggut yang ditulis sastrawan Aceh Azhari Aiyub yang diterbitkan pertama 2018 lalu.

Film berdurasi lebih kurang satu jam itu juga dimainkan oleh aktor dari ibu kota yakni seorang pemeran nasional ternama Ine Febrianti, serta seniman lokal seperti Nazar Syah Alam Fozan Santa dan lainnya.

Nurmatias menyampaikan, kisah film tersebut dimulai dengan nuansa beberapa ribu lalu, ketika bangsa dan niaga belum ada.

Di mana, kata Nurmatias, manusia saat itu sedang bertahan dalam persaingan, penyakit, dan kelaparan. Jika lolos akan membuat manusia kala itu menjadi satu-satunya penguasa di bumi.

Baca juga: Sineas Kalbar rilis film pejuang "Passan Terakhir"
Baca juga: Pengamat: Film bisa jadi sarana belajar sejarah dan afirmasi politik


Nurmatias menjelaskan, dalam film tersebut nantinya juga diceritakan bagaimana pesaing utama manusia saat itu adalah kura-kura berjanggut, makhluk cerdas tetapi lambat yang percaya pada bumi bulat dan mengitari matahari.

Perseteruan antara manusia dan kura-kura berjanggut dipicu oleh biji neraka atau merica yang banyak tumbuh di dekat sebuah mata air.

"Manusia yang ingin mengeksploitasi kelezatan dan faedah biji neraka, mendapat tantangan keras dari kura-kura berjanggut yang menurutnya kegiatan itu akan membuat bumi berhenti berputar," ujarnya.

Sementara itu, Kurator Festival Bumi Rempah Nusantara Rama Soeprapto menjelaskan alur cerita film ini menuju ke abad 17 di Lamuri, Aceh, yaitu sebuah kesultanan yang terletak di kerongkongan Selat Malaka.

"Saat itu kondisinya baru saja babak belur dihajar banjir besar. Penyakit dan kelaparan adalah dua imbas yang harus diatasi Sultan Nuruddin atau Anak Haram, penguasa negeri itu," kata Soeprapto.

Baca juga: Makna di balik tema "Sejarah Film dan Media Baru" FFI 2021
Baca juga: Wina Armada sebut FFWI punya sejarah dalam perfilman nasional


Dalam kisahnya, lanjut Soeprapto, negeri itu sangat miskin dan sedang dikucilkan akibat perebutan kekuasaan beberapa tahun sebelumnya. Satu-satunya yang dapat diandalkan adalah merica. Konon, merica terbaik di dunia tumbuh di Lamuri, Aceh.

Namun, karena embargo dan blokade dagang merica-merica itu telah lama membusuk di gudang. Pada saat banjir besar, pedagang hantu menggunakan kesempatan ini untuk membeli langsung rempah-rempah di gudang anak haram.

Belakangan dengan uang yang didapat dari Pedagang Hantu dan harga lada yang menjulang di pasar dunia. Anak Haram ingin menguasai sendiri jalur perdagangan rempah. Hasratnya makin besar bersamaan dengan datangnya Ernem Misal, seorang duta besar Usmani.

"Jadi film ini menceritakan dan memperlihatkan unsur-unsur ke-Acehan, sesuatu yang tidak pernah terdengar dan terlihat lagi," demikian Soeprapto.

Baca juga: "Gelora: Magnumentary Saparua" bicara sejarah yang terpinggirkan
Baca juga: Dirjen Kebudayaan: Milenial perlu nonton film Tjoet Nja Dhien
Baca juga: Penting bagi generasi muda kenali sejarah

 

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021