Singapura (ANTARA) - Sebagian besar mata uang negara berkembang di Asia tidak memiliki arah pada perdagangan Senin, karena meningkatnya kekhawatiran atas krisis utang pengembang properti China Evergrande, sementara saham di Singapura dan Indonesia mengungguli rekan-rekan regional.

Berita bahwa saham China Evergrande disuspen pada Senin setelah perusahaan melewatkan pembayaran bunga utama pada obligasi luar negeri untuk kedua kalinya minggu lalu membatasi kenaikan mata uang Asia.

Media China melaporkan bahwa Evergrande, yang memiliki kewajiban 305 miliar dolar AS, akan menjual setengah saham di unit manajemen propertinya ke Hopson Development seharga lebih dari 5 miliar dolar AS.

Rupiah Indonesia dan ringgit Malaysia naik paling tinggi di kawasan ini, masing-masing menguat sekitar 0,3 persen, sementara mata uang lainnya sedikit berubah hari ini.

Saham Singapura menguat lebih dari satu persen, naik 1,26 persen didukung oleh Singapore Technologies Engineering setelah pada akhir pekan sepakat untuk membeli bisnis TransCore Roper Technologies Inc senilai 2,68 miliar dolar AS.

Pasar saham Indonesia terangkat 1,83 persen atau 113,84 poin mencapai level tertinggi sejak Maret.

Pasar China tutup hingga Kamis (7/10/2021) untuk Hari Libur Nasional Golden Week, sementara pasar Korea Selatan juga tutup.

Juga membebani pasar adalah ekspektasi bahwa inflasi yang meningkat dapat mendorong Federal Reserve AS untuk memajukan jadwal tapering-nya, yang akan melemahkan selera untuk aset pasar negara berkembang yang lebih berisiko.

Data tenaga kerja AS Jumat ini (8/10/2021) akan membuat investor terpaku pada tanda-tanda peningkatan kuat di pasar kerja, cukup untuk menjaga The Fed di jalur untuk mulai melakukan tapering sebelum akhir tahun atau lebih cepat.

Data pada Jumat lalu (1/10/2021) menunjukkan bahwa indeks pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), ukuran inflasi pilihan Fed untuk target fleksibel 2,0 persen, meningkat 3,6 persen pada Agustus dari tahun sebelumnya, menyamai kenaikan Juli.

"Pasar telah memperhitungkan awal tapering, tetapi mungkin bukan dampak penuhnya tergantung pada kecepatannya," kata analis di OCBC.

Kenaikan harga-harga komoditas dan gangguan pasokan juga telah memicu ekspektasi inflasi global dapat bertahan lebih tinggi lebih lama.

"Jika meroketnya harga-harga komoditas tidak dijinakkan selama musim dingin ini dan kemacetan pasokan tetap tidak terselesaikan, itu mungkin memaksa pembuat kebijakan ke sikap yang lebih hawkish untuk mengatasi inflasi," kata Han Tan, kepala analis pasar di Exinity.

Pasar juga memiliki pidato oleh Perwakilan Dagang AS Katherine Tai pada Senin tentang strategi perdagangan China yang telah lama ditunggu-tunggu oleh pemerintah Biden.

Baca juga: Dolar melemah di Asia karena permintaan mata uang aman berkurang
Baca juga: BI akan perluas kerja sama mata uang lokal dengan negara Asia Tenggara
Baca juga: Ringgit pimpin penurunan mata uang Asia, bank sentral jadi fokus

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021