Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin mengusulkan diadakan Rembuk Nasional terkait penentuan jadwal pemungutan suara Pemilu 2024.

Usulan tersebut menurut dia karena semua partai politik perlu dimintai pendapat dan dipertimbangkan usulannya mengenai jadwal Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.

"Dalam rangka mewujudkan asas keadilan Pemilu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, semua parpol tersebut perlu dimintai pendapat dan dipertimbangkan usulannya mengenai jadwal Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Untuk kepentingan tersebut saya mengusulkan digelar Rembuk Nasional," kata Said di Jakarta, Minggu.

Baca juga: Komisi II tunda Raker bahas jadwal Pemilu 2024

Dia mengatakan partai politik (parpol) di Indonesia tidak hanya terbatas pada sembilan partai yang ada di DPR RI.

Menurut dia, masih ada puluhan parpol berbadan hukum lain yang juga punya hak konstitusional yang sama untuk menjadi calon Peserta Pemilu 2024, termasuk mengusung calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.

"Wacana untuk memajukan atau memundurkan waktu pemungutan suara misalnya karena ada persoalan pilkada serentak maka mengubah waktu penyelenggaraan Pemilu 2024 juga menjadi tidak tepat jika hanya dikompromikan secara eksklusif oleh KPU, Bawaslu, DPR, dan Kemendagri," ujarnya.

Selain itu dia menjelaskan, konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara adil, sehingga asas itu harus menjadi pijakan, termasuk dalam hal penentuan jadwal Pemilu 2024.

Menurut dia, jadwal Pemilu di Indonesia sebetulnya sudah "ajeg" yaitu dilaksanakan tiap lima tahun sekali pada bulan April.

"Parameternya jelas, sejak pertama kali diselenggarakan pasca-amendemen UUD 1945, Pemilu selalu digelar di bulan April. Ketika Pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan dengan Pemilu Presiden di tahun 2019, waktunya pun tetap bulan April," katanya.

Menurut dia, agenda nasional yang sudah berjalan secara reguler itu harus dibaca sebagai konvensi ketatanegaraan atau "conventions of the constitution".

Dia menilai, konvensi ketatanegaraan merupakan salah satu dari tujuh sumber hukum tata negara ("sources of the constitutional law") selain nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis, hukum dasar, peraturan tertulis, yurispudensi, doktrin, dan hukum internasional.

"Konvensi juga bisa dimaknai sebagai norma yang timbul dalam praktik politik atau ‘rules of political practice’ yang bersifat mengikat bagi penyelenggara negara," ujarnya.

Dia menjelaskan, dalam praktik penyelenggaraan negara, konvensi dimasukkan dalam pengertian konstitusi dalam arti luas.

Hal itu menurut dia meskipun tidak didasarkan pada aturan tertulis, konvensi mempunyai dinilai penting secara konstitusional atau "constitutional meaningful".

"Karena itu kebiasaan ketatanegaraan atau kelaziman konstitusional terkait dengan jadwal Pemilu tidak boleh dengan gampang dikesampingkan. Sebab, konvensi merupakan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu persoalan," katanya.

Baca juga: Demokrat: Hanya 2 calon dalam pemilu dapat sebabkan polarisasi
Baca juga: F-PKB tepis anggapan ada "matahari kembar" jika Pemilu 21 Februari


Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021