saat ini Indonesia adalah salah satu negara liberal kapitalistik
Surabaya (ANTARA) - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap lembaga pendidikan turut mengambil peran dalam rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5, sebagai momentum kesadaran bersama untuk mewujudkan cita-cita Indonesia.

LaNyalla saat hadir dalam Pengukuhan Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Profesor. Dr. Mulyadi, dr, Sp.P(K), FISR di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA), Sabtu, juga meminta agar lembaga pendidikan, khususnya UNUSA mendukung wacana amandemen.

Apalagi, kata dia, UNUSA memiliki hubungan kesejarahan dan hubungan emosional dengan organisasi Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi keagamaan besar, yang berperan penting dalam ikut melahirkan bangsa ini.

"Bahkan Nahdlatul Ulama telah menjadi ikon masyarakat madani atau civil society di masa penjajahan Belanda dan Jepang, melalui eksistensi Pondok Pesantren di seluruh Nusantara saat itu," kata LaNyalla.

Pondok Pesantren, menurut LaNyalla, telah terbukti dan teruji dalam sejarah sebagai problem solver bagi masyarakat. Memberi solusi dalam pendidikan, kesehatan, hingga solusi bagi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Termasuk penjaga moral dan adab generasi bangsa.

"Ini tentu bukan peran kecil. Apalagi jika kita melihat sejarah awal kemerdekaan Indonesia, di mana peran resolusi jihad yang dikeluarkan Rois Akbar NU saat itu, Mbah Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang kemudian memicu lahirnya peristiwa 10 November 1945, yang kita kenal dengan Hari Pahlawan, jelas sangat berarti bagi bangsa ini," ucapnya.



Oleh karena itu, penerus pejuang Nahdlatul Ulama, termasuk yang sekarang mengabdi di lembaga pendidikan formal, seperti di UNUSA, sudah sepantasnya memiliki suasana kebatinan yang sama, untuk memikirkan hal-hal yang besar bagi masa depan bangsa dan negara ini.

"Pemahaman itu harus terus disampaikan kepada rakyat, khususnya entitas-entitas civil society selain ulama juga raja-raja nusantara, agamawan, tokoh pergerakan, kaum terdidik, hingga tokoh-tokoh militer, sebagai pemilik saham atas lahirnya bangsa dan negara ini. Negara ini butuh perubahan besar. Perlu mengoreksi arah perjalanan bangsa. Artinya amandemen juga dibutuhkan oleh rakyat, selain suplemen dalam arti kebutuhan sehari-hari," kata LaNyalla.

Baca juga: Puskapol UI: Amendemen konstitusi perlu pelibatan publik secara luas
Baca juga: Pakar ungkap tiga alasan amendemen konstitusi tak perlu dilakukan


Rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang sedang bergulir, kata LaNyalla, dan harus menjadi momentum kesadaran bersama sebagai negarawan, untuk memikirkan agar Indonesia dapat segera mewujudkan cita-citanya.

"Indonesia harus lebih berdaulat atas apa yang terkandung di dalam bumi, air, udara dan semua kekayaan alamnya. Indonesia harus berdaulat atas sektor pangan, sektor kesehatan, pendidikan serta lainnya," paparnya.

Lebih penting lagi, ditambahkannya, Indonesia harus mampu menyiapkan diri dalam memasuki era distrupsi di segala bidang dan perubahan global.

"Tanpa kedaulatan, kita hanya menjadi negara yang dikendalikan negara lain. Dipaksa tunduk kepada aturan-aturan global yang tidak adil yang akhirnya kekayaan negara ini akan dikuasai segelintir orang, baik itu bangsa kita sendiri maupun bangsa asing," jelasnya.

Menurut LaNyalla, hari ini arah perjalanan bangsa dan negara telah berubah jauh dari harapan para pendiri bangsa. Dulu, para pendiri bangsa mencita-citakan negara ini menjadi negara yang melindungi segenap tumpah darahnya, melindungi rakyatnya, dan negara berkewajiban mewujudkan cita-citanya, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Oleh karena itu, sistem perekonomian nasional dilandaskan kepada semangat gotong royong dengan menjadikan koperasi sebagai falsafah, sekaligus soko guru perekonomian nasional. Sistem tata negara juga dijalankan dengan mengedepankan semangat musyawarah mufakat. Dengan memberikan mandat kepada orang-orang hikmat yang memiliki kebijaksanaan sebagai wakil rakyat," katanya.

Baca juga: Aboebakar Alhabsyi: Bahas rencana amandemen konstitusi tidak tepat
Baca juga: Ketua MPR RI: Amendemen UUD 1945 tidak akan menjadi 'bola liar'


Tetapi kenyataannya, kata dia, saat ini Indonesia adalah salah satu negara liberal kapitalistik. Nuansa serta kenyataan itu semakin kuat setelah bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi 4 tahap, di tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.

"Ya, kita sadari atau tidak, sejak amandemen konstitusi saat itu, dengan dalih efisiensi, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, telah kita serahkan kepada pasar. Amandemen saat itu juga memberikan ruang kuasa besar kepada partai politik sebagai penentu utama wajah dan arah perjalanan negara ini," lanjutnya.

Amandemen konstitusi 4 tahap justru semakin menyulitkan negara ini mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena mazhab liberal kapitalis memberi peluang seluas-luasnya kepada kekuatan modal dan kapital dari segelintir orang untuk mengontrol dan menguasai kekuasaan atau yang sering disebut dengan istilah oligarki.

"Oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Padahal cita-cita para pendiri bangsa ini, sama sekali bukan itu," tegasnya.

Baca juga: MPR lakukan diskusi publik seluas-luasnya sikapi usulan hidupkan GBHN
Baca juga: Pandangan Jokowi dan PDIP soal amandemen ada kesamaan fundamental
Baca juga: Pakar usulkan MPR hidupkan lagi GBHN

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021