Jakarta (ANTARA) - Dalam sepekan pada Oktober 2021, terjadi peningkatan aktivitas terorisme di sejumlah belahan dunia.

Baru-baru ini, Jumat (15/10), anggota parlemen Konservatif Inggris David Amess meninggal dunia setelah menerima tikaman berulang kali di Belfairs Methodist Church, Leigh-on-Sea London timur.

Pihak kepolisian yang menangani kasus tersebut, pada Sabtu (16/10) menyatakan bahwa kejadian pembunuhan David Amess merupakan serangan teroris, dan tersangka penusukan telah diamankan oleh unit Kontra-Terorisme yang memimpin penindakan.

Masih pada hari yang sama, di Afghanistan, ledakan kuat mengguncang sebuah masjid Syiah di Kota Kandahar, Afghanistan, saat shalat Jumat, hingga menewaskan 12 orang.

Sebelumnya, kejadian mencekam juga terjadi di Norwegia pada Rabu (13/10). Sebanyak lima orang tewas dan tiga orang lain luka-luka pasca penyerangan menggunakan senjata busur panah yang berlokasi di sisi selatan Kota Kongsberg, sekitar 70 km di sebelah barat ibu kota Oslo, Norwegia.

Baca juga: Eks teroris tak sepakat usulan Densus 88 dibubarkan

Pihak kepolisian masih mengkaji peristiwa tersebut untuk memastikan apakah penyerangan yang dilakukan oleh Espen Andersen Braathen (37) merupakan aksi teror atau diakibatkan oleh gangguan jiwa.

Seluruh kejadian tersebut berlangsung hanya dalam waktu sepekan dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali di lokasi yang berbeda. Tindakan tersebut dapat memicu tindakan teror di belahan dunia lainnya, sehingga mengancam keselamatan siapa pun di ruang publik, tak terkecuali keselamatan khalayak umum di Indonesia.

Dunia sedang dalam darurat terorisme.

Akan tetapi, alih-alih memperkuat persatuan warga negara Indonesia dalam melawan para pelaku teror, publik justru disibukkan oleh wacana pembubaran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Wacana pembubaran Densus 88 dipicu oleh cuitan anggota DPR RI Fadli Zon pada Selasa (5/10) melalui akun Twitter pribadinya ketika menanggapi salah satu berita dari media nasional.

Dalam cuitan tersebut, Fadli Zon mengatakan, “Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamofobia. Dunia sdh berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jgn dijadikan komoditas.”

Menanggapi pernyataan tersebut, berbagai elemen publik, termasuk mantan terpidana kasus terorisme, menyuarakan ketidaksetujuannya atas usulan Fadli Zon.


Tanggapan publik

Mantan terpidana kasus terorisme Hendi Suhartono menyatakan bahwa ia tidak sepakat terhadap pendapat Fadli Zon yang mengatakan bahwa, sebaiknya, Densus 88 dibubarkan.

Hendi Suhartono, yang terlibat aksi Bom Buku, berpandangan bahwa Densus 88 memiliki peran yang krusial untuk menindak dan mencegah aksi terorisme di Indonesia.

Baca juga: Dosen UI: Moderasi beragama perlu dikumandangkan tangkal radikalisme

Terpidana terorisme, kata Hendi, akan sulit untuk dideradikalisasi jika tidak ada pendampingan dan pengawasan.

Bahkan, terpidana terorisme dapat terjerumus kembali pada paham ekstrem dan mengulangi aksi teror mereka apabila tidak mendapat pendampingan saat bebas dari tahanan.

Kembalinya mantan terpidana terorisme melakukan aksi teror diakibatkan oleh kecurigaan masyarakat yang melekat pada mereka ketika telah kembali ke kehidupan yang semula. Kecurigaan masyarakat mengakibatkan mereka dikucilkan dan menjadi topik pembicaraan.

Berdasarkan pengakuan Hendi, perilaku tersebut menimbulkan sakit hati, dan perasaan tersebut dapat mendorong para mantan terpidana terorisme untuk kembali melakukan aksi teror.

Untuk mencegah hal tersebut, Hendi mengatakan bahwa pendampingan dan bantuan untuk beradaptasi kembali oleh Densus 88 sangat dibutuhkan oleh mantan terpidana terorisme.

“Kalau Densus tidak ada, orang-orang seperti saya dulu, orang-orang yang nakal, siapa yang mau pegang? Karena itu, memang harus ada satuan khusus,” kata Hendi.

Baca juga: Cegah radikalisme, rasa kemanusiaan generasi muda harus dipupuk

Pernyataan tersebut menggambarkan pentingnya peran Densus 88 bagi para mantan terpidana terorisme untuk mencegah mereka kembali ke paham ekstrem dan melakukan tindak terorisme.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan bahwa keberadaan Densus 88 masih sangat dibutuhkan dalam memberantas terorisme di Indonesia.

Tuduhan terkait Densus 88 menyebabkan Islamofobia, kata Ahmad, merupakan pernyataan yang provokatif.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Ketua Umum PPK Kosgoro 57 Dave Akbarshah Fikarno Laksono.

Ia berpandangan bahwa Densus 88 merupakan pemukul pertama dari tindak pengentasan terorisme di Indonesia, meskipun sudah ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan satuan antiteror di setiap matra TNI.

BNPT berfokus pada bidang pencegahan, kerja sama, dan koordinasi dalam konteks penanggulangan yang berbasiskan pada pembangunan kesejahteraan dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka tetap waspada.

Sedangkan, Densus 88 memiliki peran sebagai penegak hukum dan penyidik kejahatan terorisme.

Baca juga: Mantan napiter apresiasi peran Densus 88 Antiteror

“Densus 88 tetap memiliki kekhususan tersendiri,” kata Dave.

Antisipasi Teror

Berbagai tanggapan publik telah memperlihatkan bahwa Densus 88 memiliki peran penting dalam mengantisipasi teror di Indonesia.

Kini, sejak Taliban berhasil menguasai ibu kota Kabul, Afghanistan, berbagai akademikus hingga pemerintah menyatakan kekhawatiran mereka terkait bangkitnya gerakan-gerakan radikal yang terinspirasi oleh pergerakan Taliban di Afghanistan.

Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Bidang Ketahanan Nasional Marsekal Muda TNI Achmad Sajili mengungkapkan bahwa setelah Taliban menduduki Kabul, Afghanistan, terdapat beberapa kelompok yang menggalang simpatisan melalui broadcast WhatsApp.

Kemenangan Taliban, menurut Achmad, bisa menginspirasi kelompok radikal untuk menciptakan negara Islam, dan hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan sikap kelompok Jamaah Ansharu Syariah yang didirikan oleh Abdurahim Baasyir.

Kelompok tersebut mensyukuri kemenangan Taliban dan mendukung Taliban menerapkan sistem negara Islam kaafah.

Baca juga: Boy Rafli: Densus 88 dibutuhkan dalam penegakan hukum terorisme

Oleh karena itu, ia meminta kepada masyarakat untuk melaporkan indikasi gerakan radikal kepada pihak yang berwenang, agar dapat dilakukan penegakan hukum oleh aparat kepolisian.

Di sisi lain, Dosen Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia Amanah Nurish juga mengatakan bahwa kebangkitan Taliban dapat memengaruhi mantan teroris untuk kembali menjadi simpatisan.

Pernyataan tersebut selaras dengan ungkapan mantan terpidana kasus terorisme Hendi Suhartono yang mengatakan bahwa terpidana terorisme dapat terjerumus kembali pada paham ekstrem dan mengulangi aksi teror mereka.

Kekhawatiran yang diungkapkan oleh berbagai lapisan masyarakat menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan Densus 88 dan aparat penanggulangan tindak terorisme lainnya untuk menjamin keselamatan seluruh warga negara Indonesia.

Aksi teror yang terjadi di berbagai belahan dunia dalam sepekan menandakan bahwa, saat ini, dunia sedang dalam kondisi darurat terorisme.

Satu kejadian dapat memicu kejadian lainnya, dan tidak terhalangi oleh lintas batas negara. Indonesia, berdasarkan kekhawatiran dan pengamatan akademikus maupun praktisi, saat ini sedang rentan dengan tindak terorisme.

Dengan demikian, warga negara Indonesia membutuhkan Densus 88 untuk memperkokoh pertahanan dan memberi rasa aman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di tengah kekhawatiran akan aksi teror.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021