Banda Aceh (ANTARA) - Medio November 2021 kabar duka kembali menyelimuti dunia fauna, seekor anak gajah sumatra (Elehas Maximus sumatranus) mati dengan kondisi yang sangat memilukan akibat terkena jerat di kawasan hutan Provinsi Aceh.

Gajah usia satu tahun ini tak mampu bertahan hidup ketika sedang menjalani perawatan medis di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Kondisinya sudah sangat parah saat dievakuasi dari hutan Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya.

Kawat jerat masih melekat di belalainya yang nyaris putus, badan lemah serta terpisah dari induknya saat tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama BKPH Teunom-KPH I, CRU Aceh, Fakultas Kedokteran Hewan-USK dan masyarakat menemukan anak gajah itu di hutan Aceh Jaya.

Akibat kondisi luka di bagian belalai yang sudah parah dan membusuk, sehingga tim medis BKSDA Aceh memotong belalainya. Pada Selasa (16/11) pagi anak gajah betina itu dilaporkan mati, setelah dua hari menjalani perawatan intensif di PLG Saree.

“Hasil nerkopsi tim medis bahwa anak gajah liar ini mengalami infeksi sekunder akibat luka terbuka yang berlangsung lama karena jerat, dan pencernaannya terganggu karena tidak optimal asupan makan selama terkena jerat di alam,” kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto, pekan lalu.

Peristiwa tersebut memperpanjang deretan kasus kematian satwa liar di daerah Tanah Rencong itu akibat terkena jerat, mulai dari harimau sumatra, gajah sumatra dan beberapa satwa liar dilindungi lain.

“Ini kabar yang menyedihkan bagi kita. Dimana harapan baru tumbuh karena berhasil melakukan penyelamatan dan melepaskan bekas jeratan yang tersisa di belalai gajah, namun takdir berkata bahwa penderitaan anak gajah harus berakhir,” kata Agus.

Ia menilai jerat sangat mengancam populasi satwa liar di hutan Aceh. Tidak hanya bagi gajah, jerat juga mengancam populasi satwa liar lain seperti harimau, badak sumatra, beruang madu, dan satwa lainnya.

Saat ini masih banyak masyarakat di provinsi berjulukan bumi Serambi Mekkah itu menggunakan jerat saat berburu di hutan. Peruntukan jerat bermacam-macam, mulai dari jerat hama babi hingga jerat yang digunakan sebagai cara penanggulangan konflik satwa liar dengan manusia.

Misalkan, lanjut Agus, seperti jerat hama babi, setelah dipasang di hutan kemudian ditinggalkan, sehingga tidak tertutup kemungkinan satwa liar lain juga akan terperangkap.

“Mereka setelah memasang baru beberapa hari kemudian melihat. Setelah dipasang, terus satwa terperangkap, memberontak, sehingga langsung mati,” kata Agus.

Tak hanya gajah, jerat pemburu juga memakan korban lain. Pada Agustus 2021, tiga ekor harimau sumatra mati sekaligus usai terkena jerat kawat spiral di Kecamatan Meukek, Kabupaten Aceh Selatan.

Tiga harimau, satu induk betina berusia 10 tahun dan dua anakan jantan dan betina ditemukan warga dalam kondisi mati di dua titik kawasan hutan lindung berbatasan dengan areal penggunaan lain (APL).

“Induk dan anak harimau betina diperkirakan sudah mati sekitar lima hari sebelum ditemukan, kemudian anak jantan sudah mati tiga hari sebelum ditemukan, hanya berjarak sekitar 5 meter dari induknya. Mati karena infeksi akibat jerat,” kata Agus.

Selain mati akibat jerat, selama 2021 BKSDA Aceh juga menangani beberapa kasus harimau terjerat namun dapat diselamatkan sehingga bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

“Selama 2021 ini baru satu kasus harimau mati terjerat, tapi tiga ekor sekaligus di Meukek, Aceh Selatan. Ada satu lagi harimau saat ini masih berada di CRU Trumon yang masih dicek kondisi medis untuk persiapan pelepasliaran,” katanya.

Sejak beberapa tahun terakhir, menurut Agus, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK telah menyatakan perang terhadap jerat. Sebab itu masyarakat diminta tidak memasang jerat atau racun yang dapat menyebabkan kematian satwa liar dilindungi.

“Karena perilaku seperti ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.

Baca juga: Sebanyak 11 terdakwa pembunuhan lima gajah di Aceh mulai disidangkan

Baca juga: Aktivis: Penegak hukum harus usut tuntas kematian anak gajah di Aceh
Tim Dokter BKSDA Aceh melakukan pemeriksaan kesehatan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) yang masuk ke dalam perangkap jebak (box trap) di Conservation Respon Unit (CRU) Desa Naca, Trumon Tengah, Aceh Selatan, Aceh, Jumat (12/11/2021). (ANTARA/M Alawi Kadafi/Lmo/aww)


Konflik

BKSDA Aceh menilai perambahan hutan menjadi pemicu terjadinya konflik satwa liar dengan manusia, yang pada akhirnya mati terjerat. Habitat harimau dan gajah dinilai mulai terganggu dengan aktivitas pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan.

Seperti harimau, habitat mulai terganggu karena aktivitas perambahan hutan menjadi area perkebunan warga. Akhirnya, kata Agus, aktivitas itu memicu terjadi konflik antara manusia dengan harimau.

Beberapa daerah dengan intensitas tinggi konflik harimau dan warga, seperti Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Timur serta Aceh Singkil. Maka selain untuk berburu, masyarakat juga menggunakan alat-alat yang membahayakan seperti jerat untuk penanggulangan konflik satwa.

“Itu yang menjadi salah satu faktor kenapa alat jerat sangat membahayakan dan mengancam satwa liar. Sebetulnya yang diganggu area pergerakan satwa liar ini, masyarakat yang mengganggu wilayah harimau itu,” kata Agus.

Pemicu lain adalah pola penggembala di Aceh yang membuat harimau turun ke perkebunan atau pemukiman sehingga terjadi konflik. Biasanya, warga menggembala ternak dengan cara melepasliarkan, tanpa menggunakan kandang.

“Ternak itu dilepas, liar begitu saja, dan masuk ke kawasan hutan begitu saja, pada akhirnya harimau yang melatih anaknya untuk berburu mengejar ternak warga, sehingga ini menjadi pemicu konflik,” katanya.

Nasib sama juga dialami gajah. Perambahan hutan masih menjadi pemicu konflik satwa ini dengan manusia. Saat ini warga Pidie, Pidie Jaya, Bener Meriah dan beberapa daerah lain masih terus berkonflik dengan gajah. Rumah dan kebun warga kerap menjadi sasaran amukan hewan bertubuh besar itu.

Oleh karena itu Aceh memiliki tujuh Conservation Response Unit (CRU) untuk penanggulangan konflik gajah dan manusia, yakni CRU Mila di Pidie, CRU Peusangan di Bener Meriah, CRU Sampoinet di Aceh Jaya, CRU Woyla Timur di Aceh Barat, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU Serbajadi di Aceh Timur dan CRU Trumon di Aceh Selatan.

“Semua CRU kita aktif. Kita sekarang sedang merevitalisasi CRU. Kita akan melibatkan semua pihak terkait, dengan harapan bisa bersama-sama memperkuat CRU yang ada di Aceh,” kata Agus.

Selain itu, BKSDA Aceh juga telah memasang penghalang (barrier) untuk mencegah gajah masuk ke perkebunan dan pemukiman. Kemudian juga memasang GPS collar pada salah satu gajah liar untuk mendeteksi setiap pergerakan kawanan gajah.

Data dari GPS collar dinilai sangat penting untuk pemasangan barrier sehingga wilayah yang menjadi pintu masuk dan keluar kawanan gajah liar ke perkebunan dan pemukiman penduduk dapat ditutup dengan penghalang.

“Penghalang bisa dalam bentuk parit besar atau juga bisa pagar kawat listrik (power fancing) dan bermacam-macam. Jadi saat ini kita sudah pasang kawat mencapai 59.000 meter di daerah konflik gajah yang cukup tinggi di Aceh,” kata Agus.

Di samping itu BKSDA Aceh juga terus mensosialisasi dan mengimbau seluruh warga bersama-sama menjaga kelestarian alam khususnya satwa liar dilindungi dengan cara tidak merusak hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa.

Kemudian tidak menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati serta tidak memasang jerat ataupun racun yang dapat menyebabkan kematian satwa liar dilindungi.

“Untuk populasi gajah dan harimau saat ini masih cukup bagus di Aceh. Aceh ini benteng, memiliki satwa liar yang lengkap, harimau ada, orangutan ada, gajah ada dan badak juga ada, jadi lengkap. Oleh karenanya mari kita jaga bersama-sama,” katanya.

Baca juga: BKSDA turunkan tim atasi gangguan harimau di Gayo Lues

Baca juga: BKSDA melepasliarkan harimau ke Taman Nasional Gunung Leuser


Hukum

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai konflik satwa liar dengan manusia terjadi akibat satwa kehilangan habitat. Seperti gajah, kehilangan koridor jelajah dan sumber makanan karena kawasan hutan banyak yang sudah dialihfungsikan sehingga memaksa satwa-satwa liar bergerak ke kawasan permukiman.

"Itu sebenarnya mereka mencari sumber makanan. Yang menyebabkan konflik itu karena mereka keluar jalur (jelajah)," kata Direktur Eksekutif WALHI Aceh Muhammad Nur.

Terkait jerat, Walhi Aceh juga meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas kematian anak gajah terjerat itu. Walhi menilai jerat merupakan perbuatan yang mengancam populasi satwa liar sehingga harus ada penegakan hukum.

Mereka juga meminta BKSDA mengusut tuntas kasus matinya anak gajah yang terjerat di lokasi peremajaan sawit tersebut.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dinilai masih kurang serius dalam melakukan perlindungan satwa kunci, dibuktikan dengan kasus kematian gajah terjerat hampir terjadi setiap tahun.

Hal ini juga dipicu aktivitas perluasan peremajaan sawit di Aceh, yang membuktikan tidak ada kepedulian pemerintah terhadap koridor gajah yang semestinya tidak diganggu atas nama ekonomi sektor sumber daya alam.

Hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena jeratan gajah ini hampir setiap tahun ditemukan.*

Baca juga: BKSDA sebut perangkap jerat ancam kehidupan satwa liar di Aceh

Baca juga: BKSDA Aceh imbau masyarakat tidak pasang jerat di kawasan hutan

Pewarta: Khalis Surry
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021