Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah telah berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.

"Sejak awal reformasi, pemerintah telah berkomitmen mencegah dan menangkal korupsi dan menindak korupsi baik korupsi yang berupa penggarongan dan suap terhadap uang negara," kata Mahfud pada acara Bincang Stranas PK - Cegah Korupsi Melalui Digitalisasi Penanganan Perkara dan Penguatan Integritas Aparat Penegak Hukum, yang disiarkan Youtube StranasPK Official, di Jakarta, Kamis.

Upaya pemberantasan korupsi itu dengan mengambil langkah konkret melalui penerbitan kebijakan-kebijakan yang menjadi dasar dan memberi dukungan dalam upaya mencegah sekaligus memberantas tindak pidana rasuah.

Seperti pembentukan KPK, Komisi Yudisial untuk mengawasi para hakim, dan membentuk Mahkamah Konstitusi untuk mengawasi korupsi di level peraturan perundang-undangannya.

Sedangkan untuk mengawasi praktik korupsi di lingkungan birokrasi dalam kegiatan sehari-hari, kata dia, pemerintah juga sudah membuat aturan-aturan misalnya adanya aplikasi digital yang bernaung di bawah program E-Government pemerintahan yang berbasis elektronik.

Baca juga: Mahfud minta aparat penegak hukum transparan dalam bekerja

Selain itu, kata dia, pemerintah juga telah melakukan pengurangan eselon-eselon yang selama ini di area kewenangannya diduga terjadi korupsi di eselon-eselon tertentu terutama pungli-pungli dalam pembuatan peraturan dan pengambilan keputusan.

Mahfud mengatakan hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Hukum dan HAM Nasional dalam rangka mewujudkan penegakan hukum yang berkualitas dengan mendorong keterpaduan sistem peradilan pidana.

Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut, kata dia, juga menjadi salah satu tujuan reformasi di mana dalam RPJMN tahun 2020-2024 juga telah dimuat amanat tentang pengembangan Sistem Penanganan Perkara Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI).

Sistem tersebut, kata Mahfud, dibuat agar masyarakat tahu seluk beluk penanganan perkara dan agar antar lembaga negara juga saling terikat untuk tidak main-main menangani perkara itu.

"Sebagai elemen penting dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di masa depan Indonesia, maka SPPT TI terus kita kembangkan," kata Mahfud.

Pemerintah berharap kebijakan tersebut menjadi perubahan proses menuju sistem pemerintahan yang berbasis elektronik di mana terjadinya korupsi itu bisa dikontrol perkembangannya secara cepat.

Berdasarkan pengalaman di bidang hukum, praktik mafia peradilan kerap terjadi karena proses penanganan perkara tidak terdigitalisasi dan terpublikasi dengan baik.

"Sampai sekarang, persoalan tersebut terkadang masih terjadi. Perkara yang sudah diputus misalnya enam tahun hukumannya, tiba-tiba menjadi 6 bulan sesudah tertulis. Karena apa? Proses digitalisasi waktu itu belum ada. Sehingga dulu sering ribut apa yang disebut mafia peradilan itu bukan pada hakim, tetapi pada proses minutasi, proses pengiriman dan sebagainya," papar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Baca juga: Mahfud ingatkan gubernur untuk membina reformasi birokrasi di daerah

Oleh karena itu, kemudian Presiden menerbitkan Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi yang berfokus pada perizinan dan tata niaga, keuangan negara, dan penegakan hukum serta reformasi birokrasi.

Dengan demikian, lanjut dia, SPPT TI ini sebagai strategi digitalisasi proses penegakan hukum pidana nasional harus dianggap sebagai bagian dari Keppres Nomor 54 Tahun 2018 tersebut.

Salah satu tujuan dari implementasi SPPT TI adalah untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses penanganan perkara pidana, khususnya dalam hal pertukaran data dan informasi antara lembaga penegak hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.

Baca juga: Menko Polhukam sebut daerah otonomi baru Papua untuk kokohkan NKRI

Selain menjadi sarana koordinasi, akses informasi dan komunikasi antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana, kata dia, maka pengembangan SPPT TI juga diarahkan untuk menata sistem manajemen atau sistem administrasi penanganan perkara pidana ke satu sistem administrasi yang terintegrasi dan bersinergi antar LBH.

Sebagai gambaran tentang SPPT-TI tersebut, kata Mahfud, jika ada satu perkara, masuk di polisi, ditangani kapan, sampai apa bulan apa, bisa dikontrol oleh yang terlibat di dalam sistem tersebut.

"Sehingga apa yang terjadi di tengah masyarakat tidak akan hilang di tengah jalan dan tidak mungkin tak ada respons atas laporan-laporan terhadap peristiwa yang terjadi karena semuanya dari sejak pendaftaran dan pengembangan isunya sudah terdigital dengan baik," jelasnya.

Oleh karena itu, melalui pengembangan SPPT TI ini diharapkan nanti mempermudah dan memperlancar tugas tanggung jawab lembaga penegak hukum dalam proses penanganan perkara pidana dan sebagai bagian dalam sistem pendukung pengendalian etika dan penguatan integritas untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan mencegah terjadinya perilaku koruptif.

"Kalau orang malas-malasan juga akan ketahuan dari proses digitalisasi ini. Bukan ketahuan dari perilakunya, sikap-sikap tidak etisnya yang mungkin tidak pantas dilakukan, tetapi dengan keterlambatan itu sendiri akan membuka kenapa ini terjadi, kenapa ini terhambat di sana dan sebagainya, bisa dilacak dari sini," kata mantan Menteri Pertahanan ini.

Pengembangan SPPT TI berbasis teknologi informasi juga diharapkan untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas proses penanganan perkara pidana secara umum.

"Selain juga untuk memastikan ketersediaan, ketepatan, akurasi, dan kecepatan di dalam memperoleh dan memproses data informasi dalam rangka penegakan hukum yang berkualitas serta dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan nasional," demikian Mahfud MD.

Baca juga: Mahfud MD: Reformasi birokrasi belum optimal
Baca juga: Pemerintah targetkan revisi UU Ciptaker kurang dari dua tahun

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021