Kualitas kelembagaan daerah belum merata karena pembukaan pintu partisipasi publik berada pada level yang berbeda-beda. 
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya menilai kualitas kelembagaan daerah-daerah di Indonesia yang belum merata menghambat penguatan daya saing daerah berkelanjutan.

"Dalam konteks kualitas kelembagaan yang CSIS temukan, setiap daerah belum merata meskipun terdapat tren yang membaik. Misalnya, laporan The Asian Development Bank-Asian Think Tank Network (The ADB-ATTN) memperlihatkan akuntabilitas dan tranparansi anggaran daerah makin membaik," kata Edbert Gani Suryahudaya.

Ia mengemukakan hal itu saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertajuk Daya Saing Berkelanjutan: Kunci Pemulihan Pascapandemi COVID-19 yang disiarkan langsung di kanal YouTube KPPOD Jakarta, dipantau dari Jakarta, Jumat.

Edbert menilai kualitas kelembagaan daerah belum merata karena pembukaan pintu partisipasi publik berada pada level yang berbeda-beda. Misalnya, di Bali, ada desa adat yang sebenarnya membantu provinsi ini punya partisipasi yang baik dalam konteks anggaran dan dialog dalam membangun infrastruktur.

Dengan demikian, kata dia, ada relasi politik informal di Bali yang menguatkan daya saing mereka daripada daerah lain.

Penyebab lainnya yang juga disoroti Edbert dalam webinar kerja sama antara KPPOD dan Populi Center tersebut adalah ketiadaan kapasitas pemerintah daerah beserta sumber dayanya di dalam menurunkan peraturan daerah (perda) menjadi peraturan wali kota (perwali).

"Ada beberapa pemerintah daerah yang belum memiliki kapasitas dan sumber daya dalam menurunkan perda-perda menjadi perwali," katanya.

Oleh karena itu, banyak pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki peraturan turunan. Bahkan, dia menilai peraturan daerah di Indonesia masih kerap menyalin peraturan daerah lain.

Dari kedua masalah itu, persoalan terkait peraturan daerah beserta aturan turunannya memang penting untuk diawasi, terutama dalam konteks Undang-Undang Cipta Kerja.

"Ini juga menjadi persoalan dalam konteks omnibus law Cipta Kerja itu sendiri. Terlepas dari kontroversinya sekarang, akan banyak sekali peraturan-peraturan turunan yang perlu kita awasi. Di level daerah, ini menjadi rawan," kata Edbert Gani Suryahudaya.

Baca juga: MK nyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945

Baca juga: Respon parlemen pasca-Putusan MK terkait UU Ciptaker

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021