Sekarang Datun (Perdata dan Tata Usaha) sedang jajaki bagaimana caranya kembalikan sertifikat itu.
Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (kejati NTB) sedang mengupayakan pengembalian status lahan yang berisi gedung eks pusat perbelanjaan Lombok City Center (LCC) seluas 4,8 hektare di Narmada, Kabupaten Lombok Barat.

Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu, di Mataram, Jumat, mengatakan kejaksaan melalui fungsi perdata dan tata usaha (datun) mengupayakannya, karena lahan tersebut merupakan penyertaan modal Perusahaan Daerah Lombok Barat PT Patut Patuh Patju (Tripat) dalam kerjasamanya dengan PT Blis Pembangunan Sejahtera (Bliss).

"Sekarang Datun (Perdata dan Tata Usaha) sedang jajaki bagaimana caranya kembalikan sertifikat itu," kata Tomo Sitepu, di Mataram, Jumat.

Dalam perjanjian kerjasamanya, PT Bliss mendapat keistimewaan mengagunkan lahan PT Tripat yang sebelumnya berstatus aset Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.

Tindak lanjutnya, PT Bliss menjadikannya sebagai agunan pinjaman di Bank Sinarmas terhitung sejak tahun 2013 dengan fasilitas kredit sebesar Rp264 miliar.

Dari penguasaan lahan dan penerimaan modal kredit bank, PT Bliss kemudian membangun sebuah pusat perbelanjaan Lombok City Center yang kini sudah berstatus kolaps.

Tomo menjelaskan bahwa lahan itu bukan lagi milik Pemkab Lombok Barat melainkan aset milik PT Tripat. Secara keperdataan, statusnya kini sudah dipisahkan dari aset negara.

"Dahulu itu memang tanahnya pemda. Setelah itu dijadikan penyertaan modal PT Tripat. Jadilah itu asetnya PT Tripat. Ada persetujuan dewan juga," ujarnya.

Karenanya, Tomo melihat hal yang wajar ketika PT Tripat sebagai badan usaha dengan aset milik sendiri menjadikan lahan tersebut sebagai modal kerjasamanya dengan PT Bliss. Serupa juga dengan yang dilakukan PT Bliss, menjadikan lahan tersebut sebagai agunan.

"Buktinya sampai sekarang tidak ada teguran soal kredit macet. Yang tanggung jawab PT Bliss terkait kreditnya. Tunggu saja nanti sampai masa kreditnya habis," ujarnya pula.

Dia menegaskan, tidak semua indikasi penyimpangan dan munculnya potensi kerugian negara dapat diteruskan pengusutannya ke tindak pidana korupsi.

Tentunya, kata dia, hal tersebut telah melalui kajian menyeluruh sebelum membuka kasus baru, baik dari sudut pandang pidana maupun perdatanya.

"Jadi yang kami tangani ini bukan lagi soal korupsi. Karena tidak semuanya harus kami sidik korupsi," katanya lagi.
Baca juga: Penanganan kasus pengelolan aset Gili Trawangan masuk penyelidikan
Baca juga: Kejati NTB menemukan indikasi pejabat terlibat kasus aset Lombok Barat

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021