Semarang (ANTARA) - Wilayah Kecamatan Lasem, yang dijuluki Tiongkok Kecil, berada sekitar 12 kilometer di timur Ibu Kota Kabupaten Rembang di  Provinsi Jawa Tengah.

Di daerah yang disebut sebagai tempat awal pendaratan orang Tionghoa di Pulau Jawa itu banyak perkampungan dengan bangunan rumah kuno.

Bangunan-bangunan kuno di antaranya bisa ditemui saat menyusuri perkampungan di Desa Karangturi, tempat rumah-rumah dengan tembok tinggi bergaya Tiongkok masih berdiri kokoh.

Di Gang Karangturi V, Desa Karangturi, ada satu rumah yang menarik perhatian. Bangunan rumah kuno peninggalan keluarga Tionghoa dengan tembok bercat warna putih itu memiliki satu pintu kecil di bagian tengah dan satu gerbang di bagian kiri.

Di balik pintu kecil yang ada di rumah kuno yang kini dijadikan sebagai Museum Nyah Lasem itu ada halaman tidak terlampau luas yang ditumbuhi pepohonan rindang. Di seberang halaman itu berdiri sebuah bangunan dengan beranda pada bagian depan, beranda yang memiliki struktur kuda-kuda kayu khas Tiongkok berwarna hijau.

Bangunan utama rumah itu terbuat dari kayu, masih kokoh meski sudah tua. Pintunya besar. 

Di bangunan utama rumah terdapat ruangan dengan deretan foto-foto yang diperkirakan digunakan sebagai ruang tamu pada masa lalu. Di sisi kanan dan kiri ruang depan tersebut masing-masing ada kamar dengan ukuran yang sama, dan di bagian belakangnya ada satu ruang dengan desain memanjang. Beranda yang tidak terlalu luas ada di bagian belakang bangunan utama.

Pendiri Yayasan Lasem Heritage Baskoro Pop menjelaskan bahwa bangunan yang dijadikan sebagai Museum Nyah Lasem merupakan rumah "gladhak" Jawa.

"Konstruksi rumah kayu atau yang lebih dikenal dengan rumah 'gladhak' Jawa," kata Baskoro saat memandu pengunjung museum.

Menurut dia, rumah "gladhak" berbeda dengan desain rumah peninggalan Tionghoa yang dinding serta lantai bangunan utamanya pada umumnya terbuat dari batu.

Baskoro menjelaskan pula bahwa rumah "gladhak" yang dijadikan sebagai Museum Nyah Lasem merupakan rumah milik Soe San Tio.

Soe San Tio mewarisi rumah yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1800 itu dari orang tuanya yang merupakan keturunan dari Tio Oen Hien dan Go Radjin Nio. Leluhur Soe San Tio, menurut Baskoro, merupakan pemilik perusahaan batik Tio Swan Sien.

Rumah milik Soe San Tio merupakan satu dari setidaknya 15 rumah bergaya "gladhak" Jawa yang masih bertahan. Baskoro mengatakan bahwa rumah-rumah bergaya "gladhak" lain yang tersisa ada yang masih dihuni dan ada yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.
 
Pengunjung menyaksikan karya seni berjudul Tingginya Tembok Pecinan Lasem karya Hakam Kurniawan dalam pameran Cerita Nyah Lasem di Museum Nyah Lasem, Karangturi, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (9/11/2021). (ANTARA FOTO/AJI STYAWAN)


Koleksi Museum

Baskoro menjelaskan, nama Museum Nyah Lasem diambil dari kata Nyah yang biasa digunakan untuk memanggil perempuan keturunan Tionghoa dan nama lokasi museum.

"Karena letaknya di Lasem, jadi dipakai nama Nyah Lasem," katanya.

Museum Nyah Lasem didedikasikan mengingat kembali kehidupan nyonyah-nyonyah dan keluarga keturunan Tionghoa di rumah kuno Lasem.

Museum itu memajang koleksi benda-benda peninggalan keluarga Soe San Tio. Di rumah kuno itu tersimpan berbagai barang peninggalan keluarga dari masa dulu, termasuk peralatan rumah tangga yang biasa digunakan oleh pemilik rumah seperti baskom dan tampah.

Kamar di rumah "gladhak" itu ada dijadikan sebagai tempat menyimpan koleksi batik produksi perusahaan batik Tio Swan Sien, peralatan membatik, replika batik cap buatan perusahaan, hingga catatan pemasanan batik produksi Tio Swan Sien, perusahaan batik yang akhirnya gulung tikar. 

Dokumen perdagangan, kuitansi, dan surat-surat pemilik perusahaan batik Tio Swan Sien juga tersimpan di museum. Dokumen pedagangan batik dalam bahasa Tiongkok yang tersimpan di rumah kuno tersebut diperkirakan dibuat sekitar tahun 1910.

Museum Nyah Lasem juga menyimpan peninggalan mesin jahit manual yang diperkirakan digunakan untuk memproduksi pakaian batik pada masa lalu, uang kuno, serta koleksi perangko.

"Keluarga Soe San Tio dulu merupakan filatelis," kata Baskoro.

Museum Nyah Lasem mulai dibuka untuk umum sekitar tahun 2016. Pada masa itu orang yang hendak mengunjungi museum harus lebih dulu menghubungi Baskoro melalui nomor telepon yang tersedia di akun instagram Museum Nyah Lasem.

Sekarang orang bisa mengunjungi Museum Nyah Lasem tanpa harus membuat janji bertemu dengan Baskoro sebagai pemandu. Selain itu, pengelola berencana membuka museum setiap hari.

Dalam upaya mempromosikan Museum Nyah Lasem, pengelola museum menyelenggarakan beberapa kegiatan seni budaya seperti pameran seni "Cerita Nyah Lasem" serta pameran foto "Tridaya" pada November hingga Desember 2021.

Pengelola juga menyediakan tempat makan di halaman museum sehingga orang bisa makan sekaligus melihat museum. 

Selanjutnya pengelola berencana melakukan pembenahan untuk meningkatkan daya tarik museum dengan harapan Museum Nyah Lasem bisa menjadi salah satu tujuan wisata utama di daerah Lasem.

Di samping mengunjungi Museum Nyah Lasem, wisatawan yang ingin melihat kepingan sisa kehidupan masyarakat Lasem pada masa lalu bisa mendatangi bangunan-bangunan lama lain seperti Kelenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun, Kelenteng Gie Yong Bio di Jalan Babagan, Kelenteng Karangturi Po An Bio, Pondok Pesantren Al Hidayat Asy Syakiriyyah di Soditan, dan Pondok Pesantren Kauman di Karangturi.

Baca juga:
Kementerian PUPR mulai tata kawasan budaya Lasem di Rembang, Jateng
Balai Purbakala data ulang situs sejarah Lasem

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021