Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan menginginkan adanya kebijakan yang efektif guna memperkecil kesenjangan produktivitas beras di seluruh Indonesia, terutama antara lahan pertanian di Jawa dan luar Jawa.

“Produksi beras memang mengalami peningkatan. Tetapi, sekitar 53 persen produksi beras nasional berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Masih terdapat kesenjangan yang besar antara produksi di Jawa dan Luar Jawa yang produksinya rata-rata di bawah satu juta ton," kata Indra Setiawan dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.

Ia mengungkapkan, Produktivitas beras di luar Jawa memang lebih kecil yaitu 4,58 ton per hektare, dibanding dengan di Jawa yang mencapai 5,64 ton per hektare, padahal 50 persen lahan pertanian padi berada di luar Jawa.

Selain itu, ujar dia terdapat tren penurunan luas lahan pertanian dari tahun ke tahun. BPS memperkirakan penurunan luas lahan sebanyak 141,95 ribu hektare atau turun sebesar 1,14 persen.

Baca juga: Peneliti: penggunaan benih hibrida tingkatkan produktivitas beras

Penurunan tersebut, laniutnya, terjadi seiring konversi lahan akibat aktivitas pembangunan. Hal ini dinilai semakin memperlihatkan urgensi peningkatan produktivitas melalui optimalisasi lahan.

Indra menyatakan, intensifikasi lahan juga merupakan salah satu praktik pertanian yang berkelanjutan yang dapat memastikan bahwa produksi tanaman pangan tidak mengancam serta merusak lingkungan.

"Peningkatan produktivitas padi melalui intensifikasi juga diperlukan untuk menjawab kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat. Intensifikasi juga merupakan jawaban atas tantangan keterbatasan lahan," paparnya.

Baca juga: Kementan genjot produksi beras di Papua lewat kemandirian benih

Ia berpendapat, rendahnya produktivitas padi nasional dapat berdampak pada harga beras di Indonesia yang masih lebih mahal dari harga internasional. Menurut PIHPS, harga rata-rata beras Indonesia pada 2020 di pedagang besar sebesar Rp 10.473/kg. Sementara Bank Dunia mencatat harga beras di tingkat internasional sebesar Rp 6.886/kg.

Hal ini, masih menurut dia, salah satunya karena biaya produksi beras di Indonesia lebih tinggi dari negara lain, seperti Vietnam yang biaya produksinya tiga kali lebih rendah.

Biaya produksi dinilai bisa ditekan dengan penggunaan teknologi pertanian yang efisien. "Intensifikasi yang mendorong penggunaan teknologi pertanian tentu akan menjadi kesempatan untuk menurunkan biaya produksi. Penggunaan teknologi pertanian akan meningkatkan efisiensi baik sebelum maupun setelah panen," ungkap Indra.

Untuk meratakan produktivitas, penelitian CIPS merekomendasikan perbaikan akses irigasi, penggunaan pupuk kimia yang berimbang, dan penggunaan teknologi pertanian modern untuk memaksimalkan potensi lahan.

Selain itu, lanjutnya, penggunaan bibit unggul juga perlu didorong dan intensifikasi lahan juga hendaknya dilakukan di wilayah yang tingkat produktivitasnya lebih rendah daripada wilayah lain di Indonesia.

BPS belum lama ini memperkirakan produksi beras pada 2021 sebesar 55,27 juta ton gabah kering giling (GKG), atau naik 1,14 persen dari tahun 2020. Peningkatan produksi ini harus diikuti dengan metode produksi yang efisien untuk menurunkan kehilangan padi pasca panen.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021