Jakarta (ANTARA) - Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (8/12) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Setelah 17 tahun lamanya, aturan bagi salah satu lembaga Negara di bidang penegakan hukum pun diperbaiki. Alasannya untuk menguatkan peran lembaga itu, agar bekerja secara merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Perubahan aturan itu merupakan usulan bersama antara pemerintah dan DPR yang masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2021. Sebanyak 379 daftar inventaris masalah (DIM) yang menjadi pembahasan dalam revisi undang-undang tersebut.

Dalam pengambilan keputusan Tingkat I atas RUU tentang Kejaksaan, Ketua pantia kerja (Panja) Adies Kadir melaporkan panja telah menyepakati sejumlah perubahan dalam RUU kejaksaan diantaranya perubahan pada ketentuan umum, usia minimal pengangkatan jaksa, penegasan lembaga khusus pendidikan kejaksaan, penugasan jaksa pada instansi lain pada kejaksaan RI.

Kemudian, perlindungan jaksa dan keluarganya, perbaikan ketentuan pemberhentian jaksa, Jaksa Agung sebagai pengacara negara, Jaksa Agung sebagai kuasa hukum perkara di Mahkamah Konstitusi (MK), perbaikan ketentuan pemberhentian jaksa agung, tugas wewenang jaksa hingga tugas dan wewenang jaksa agung.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menegaskan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penuntutan, harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun dalam penegakan hukum. Hal itu untuk menjamin pemenuhan hak-hak dan kepastian hukum yang adil bagi warga Negara.

Baca juga: Jaksa Agung: UU Kejaksaan baru kedepankan keadilan restoratif

Perubahan penting
Perubahan UU Kejaksaan telah mengatur syarat menjadi jaksa dengan usia paling rendah 23 tahun dan paling tinggi 30 tahun. Syarat usia minimum tersebut menjadi lebih rendah, bila dibandingkan dalam UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 9 yang menyatakan usia minimum dilantik menjadi jaksa adalah 25 tahun dan maksimum 35 tahun.

Panja juga menyisipkan dua pasal yakni pasal 9A, dimana penegasan lembaga pendidikan khusus jaksa dan pasal 9B dimana jenjang karir jaksa dilakukan secara terbuka, profesional, dan akuntabel yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.

Penambahan Pasal 8A dimana dalam menjalankan tugas dan wewenang, jaksa beserta anggota keluarganya berhak mendapatkan pelindungan negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda. Bahkan, pasal 8B dimana jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api serta sarana dan prasarana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, penambahan Pasal 11A, dimana jaksa dapat ditugaskan untuk menduduki jabatan di luar instansi Kejaksaan, perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, organisasi internasional hingga organisasi profesi internasional.

Dalam Pasal 12, Panja menyepakati perubahan pemberhentian usia jaksa yang semual 62 tahun menjadi 60 tahun. Selain itu, diatur pula perbaikan ketentuan mengenai pemberhentian jaksa dengan tidak hormat.

Baca juga: Menkumham: Pengesahan RUU Kejaksaan jadi UU jamin kepastian hukum

Tugas dan wewenang
Perubahan UU Kejaksaan juga menambahkan tiga pasal yakni 30A, 30B dan 30C dalam tugas dan wewenang kejaksaan.

Pasal 30A mengatur pemulihah aset, dimana kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana, dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Melakukan kerja sama pemulihan aset, baik dengan lembaga formal maupun informal, di dalam maupun di luar negeri. Melakukan kegiatan pemulihan aset atas permintaan negara lain hingga melakukan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan Negara.

Pasal 30B mengatur beberapa poin penting dalam intelijen penegakan hukum diantaranya kejaksaan berwenang menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.

Melakukan kerja sama dan mengoordinasikan intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri pengamanan kebijakan penegakan hukum.

Pasal 30C menguatkan kewenangan dalam pasal sebelumnya diantaranya menyelenggarakan kegiatan penelitian, pengembangan hukum, statistik kriminal, dan kesehatan yustisial Kejaksaan, serta pendidikan akademik, profesi, dan kedinasan.

Kejaksaan turut serta dan aktif dalam proses pencarian kebenaran dan rekonsiliasi atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan. Kejaksaan turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.

Kejaksaan dapat melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti serta restitusi. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan public.

Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan bantuan dan perlindungan hukum atas nama negara terhadap warga negara Indonesia di luar negeri yang terlibat dalam masalah hukum.

Kejaksaan dapat melakukan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti hingga Melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan (monitoring) di bidang tindak pidana.

Kemudian, tambahan Pasal 34A juga mengatur untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 34C, dimana Penuntut Umum dapat mendelegasikan sebagian kewenangan penuntutan kepada penyidik untuk perkara tindak pidana ringan.

Baca juga: DPR setujui RUU Kejaksaan menjadi UU

Pesan Jaksa Agung
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan jajarannya untuk hati-hati menggunakan kewenangan usai disahkannya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini akan memperkuat kedudukan institusi kejaksaan, baik dari sisi organisasi maupun kewenangan. Burhanudin mengingatkan jajaran kejaksaan jangan terpaku dengan satu kewenangan semata yaitu penuntutan sementara kewenangan-kewenangan lainnya diabaikan.

Kebijakan hukum pidana Indonesia telah terjadi pergeseran paradigma dari keadilan restributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif. Peran jaksa mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi.

Prinsip keadilan hukum akan selalu menjadi hal yang utama dalam setiap upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan cara menimbang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, serta menyeimbangkan yang tersirat dan tersurat berdasarkan hati nurani.

Terkait kewenangan penyadapan, Burhanuddin mengingatkan untuk berhati-hati dan jangan menyalahgunakan kewenangan itu, karena terkait dengan hak privasi. Penyadapan tidak hanya diperlukan dalam tahap penyidikan, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, dan pencarian buron.

"Melalui undang-undang ini, Kejaksaan memiliki dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyadapan," katanya.

Harapan penegakan hukum di Indonesia dengan prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan juga sesuai dengan pesan Jaksa Agung, dimana rasa keadilan tidak tercatat di dalam buku, tetapi ada dalam hati nurani.

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021