Protokol kesehatan dan vaksinasi harus berdampingan dilaksanakan
Jakarta (ANTARA) - Kemunculan varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menjadi perhatian menjelang akhir tahun 2021. Varian baru bernama Omicron belum lama muncul pada November 2021, dan kini sudah menyebar di sejumlah negara, bahkan sudah ada kasus di wilayah Asia Tenggara termasuk di Indonesia.

Kasus pertama infeksi COVID-19 akibat varian Omicron terjadi di fasilitas karantina Rumah Sakit Wisma Atlet Jakarta, yang dialami seorang petugas kebersihan rumah sakit berinisial N.

Kasus itu diumumkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 16 Desember 2021. Pengungkapan kasus COVID-19 tersebut berhasil dilakukan melalui hasil pengurutan genom virus.

Bisa jadi sumber kontak penularan yang menularkan ke petugas kebersihan N bukan merupakan kontak pertama, yang berarti ada kemungkinan sudah menginfeksi orang lain sebelum petugas N.

Dengan penemuan kasus pertama Omicron, Pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan terus memperkuat pelacakan kontak dan pengujian secara masif untuk segera melacak penyebaran COVID-19.

Jika dapat segera mungkin menemukan orang-orang lain yang mengalami kontak dengan petugas N atau yang terinfeksi Omicron, maka bisa segera dilakukan intervensi kesehatan untuk mencegah penularan meluas baik melalui isolasi, pemeriksaan maupun pengobatan.

Sebelum kemunculan varian Omicron, sudah ada sejumlah varian-varian baru yang muncul sejak kasus COVID-19 pertama terjadi di dunia, tepatnya di Wuhan, China.

Berdasarkan data per 16 Desember 2021 di laman Badan Kesehatan Dunia (WHO), tercatat sejumlah varian virus corona penyebab COVID-19 yang diklasifikasikan sebagai variants of concern (VOC).

VOC tersebut adalah Beta yang pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan pada September 2020, Gamma di Brasil pada Desember 2020, Delta di India pada Desember 2020, dan Omicron di Afrika Selatan dan Botswana pada November 2021.

VOC adalah varian yang telah terbukti memiliki peningkatan penularan atau perubahan yang merugikan dalam epidemiologi COVID-19, peningkatan virulensi atau perubahan presentasi penyakit klinis, atau penurunan efektivitas dari diagnostik yang tersedia, vaksin dan terapi.

Kemunculan varian-varian baru tersebut memberikan dampak mulai dari gejala klinis ringan hingga berat, tingkat penularan lebih cepat, hingga kemampuan melawan antibodi setelah
vaksinasi atau infeksi alamiah.

Munculnya varian-varian baru dari virus corona penyebab COVID-19 disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada virus itu sendiri.

Saat menginfeksi manusia yang merupakan host, virus akan bereplikasi untuk memperbanyak diri. Saat proses replikasi, virus membuat salinan baru materi genetiknya, dan ketika terjadi kesalahan dalam proses penyalinan itu, maka terjadi mutasi.

Mutasi tersebut bisa memberikan dampak positif atau negatif bagi virus, yakni membuat virus lebih kuat atau tidak dalam bertahan hidup di lingkungan atau di tubuh manusia.

Dikhawatirkan jika mutasi tersebut memberikan dampak positif pada virus yang akan merugikan manusia, misalnya mutasi membuat virus bisa melawan antibodi setelah
vaksinasi dan menyebabkan gejala klinis berat pada penderitanya.

Sesungguhnya mutasi tersebut terjadi secara alamiah ketika virus masuk ke dalam tubuh manusia dan memperbanyak diri, sebagai upaya virus bertahan hidup di dalam tubuh manusia.

Untuk menghambat proses mutasi, maka harus dapat mencegah virus menemukan atau menginfeksi host baru dan memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Itu berarti harus ada upaya untuk mencegah virus menginfeksi manusia.

Menurut Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Sonny Harry B Harmadi, upaya andalan saat ini yang mudah dan efektif dilakukan masyarakat adalah penerapan protokol kesehatan 3M secara konsisten dan ketat.

Protokol kesehatan itu meliputi memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan menjaga jarak/menghindari kerumunan serta mengurangi mobilitas.

Baca juga: Epidemiolog: Cegah mutasi corona dengan disiplin terapkan prokes

Baca juga: Ilmuwan sebut virus Corona penyebab COVID-19 akan terus bermutasi



Kondisi Indonesia

Kondisi Indonesia yang baik dengan kasus yang bertahan tidak melonjak signifikan dalam beberapa bulan belakangan hingga saat ini harus dipertahankan ke depannya.

Walaupun varian Omicron tidak menimbulkan gejala berat tetapi tetap saja tidak boleh memberikan kesempatan kepada virus itu untuk menginfeksi atau menyebar di Indonesia.

Kepatuhan masyarakat dalam menerapkan 3M menjadi kunci utama pencegahan penularan COVID-19 di Indonesia apapun varian virusnya.

Indonesia telah berhasil menurunkan kasus aktif maupun kasus harian selama 150 hari sejak puncak kasus harian tertinggi pada 15 Juli 2021. Itu tidak terlepas dari laju vaksinasi yang cepat dan terus meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan 3M.

Berdasarkan rentang skor 1-10, skor kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan konsisten di atas angka 8 sepanjang Oktober 2021, yang meliputi penggunaan masker di angka 8,23, skor cuci tangan 8,09 dan skor jaga jarak 8,03.

Namun, sepanjang November 2021 skor kepatuhan terhadap protokol kesehatan turun sepanjang November 2021 yakni di angka 7,86 bagi pemakaian masker, 7,85 untuk jaga jarak, dan 7,91 untuk cuci tangan.

Skor penurunan kepatuhan berlanjut terus di Desember 2021. Sejak 1-11 Desember 2021, skor kepatuhan menggunakan masker turun menjadi 7,74 dan hampir serupa untuk skor kepatuhan menjaga jarak serta mencuci tangan.

Untuk itu, diharapkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan kembali meningkat, dan konsisten di angka yang lebih tinggi.

Perlu diingat bahwa penularan COVID-19 terjadi dari orang ke orang. Dalam hal ini, protokol kesehatan berupaya melindungi diri agar tidak menularkan kepada orang lain dan tertular dari orang lain.

Selama virus COVID-19 belum dinyatakan hilang sepenuhnya maka seluruh masyarakat perlu tetap berhati-hati bahkan perlu menjadikan sikap patuh protokol kesehatan sebagai perilaku yang perlu diadaptasi menjadi kebiasaan sehari-hari bahkan di berbagai sektor.

Dalam upaya pengendalian penularan dan penyebaran COVID-19, protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19 harus dilakukan secara berdampingan.

Semakin cepat kekebalan kelompok (herd immunity) terbentuk semakin kecil peluang virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 bermutasi.

Untuk itu, perlu percepatan vaksinasi COVID-19 dalam upaya membangun kekebalan tubuh komunitas sehingga dapat mencegah virus menemukan host baru agar tidak bereplikasi dan bermutasi di dalam tubuh manusia.

Akan lebih baik jika cakupan vaksinasi lebih cepat dibanding dengan kecepatan virus menemukan host baru.

Setelah mendapat vaksin COVID-19, seseorang diharapkan memiliki kekebalan tubuh untuk melawan serangan virus COVID-19 sehingga tidak jatuh sakit atau jatuh pada kondisi berat sampai mengancam nyawa.

Dengan mampu melawan virus yang mencoba menginfeksi sel-sel tubuh, maka dapat menekan replikasi virus dalam tubuh. Dengan menghambat virus bereplikasi, maka virus tidak dapat bertahan hidup, dan di sisi lain mencegah mutasi terjadi.

Itu akan menguntungkan manusia untuk mencegah munculnya varian-varian baru dari hasil mutasi.

"Protokol kesehatan dan vaksinasi harus bersama-sama berdampingan dilaksanakan," kata peneliti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amin Soebandrio saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia dan seluruh pihak berupaya untuk meningkatkan capaian vaksinasi COVID-19 di tengah masyarakat.

Vaksin COVID-19 hingga saat ini masih disediakan dari suplai dan bantuan luar negeri. Tentunya Indonesia mengalami keterbatasan karena bergantung pada ketersediaan dan suplai vaksin dengan membeli sendiri maupun dukungan vaksin dari kerja sama luar negeri.

Meski demikian, Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk melindungi seluruh masyarakat dengan cara mengupayakan tersedianya vaksin yang saat ini masih diimpor dari penyedia-penyedia vaksin luar negeri.

Di lain sisi, Indonesia juga berusaha membangun kemandirian dalam menciptakan vaksin sendiri yakni vaksin Merah Putih untuk COVID-19. Itu dikarenakan vaksin yang ada sekarang tidak menciptakan kekebalan tubuh permanen sehingga ke depan akan memerlukan booster atau vaksinasi ulang untuk mempertahankan kekebalan tubuh tetap tinggi.

Pengembangan vaksin Merah Putih terus berlanjut hingga sekarang dan diharapkan pada 2022 sudah ada vaksin Merah Putih yang bisa digunakan untuk masyarakat.

Sementara untuk kebutuhan vaksin COVID-19 saat ini, mau tidak mau Pemerintah Indonesia menyuplai vaksin dari luar negeri.

Demi mencegah potensi penularan maka perlu adanya proteksi berlapis dengan menjalankan upaya pengendalian secara paralel yang di dalamnya terdapat protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19.

Baca juga: Kemenkes: Waspadai pelaku perjalanan dari negara perbatasan

Baca juga: Satgas: Virus memperbanyak diri pada inang hidup di tubuh manusia

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021