Pemerintah harus fokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu menjalankan perdagangan yang terbuka dengan tetap memperhatikan kelancaran rantai pasok dalam negeri untuk mempertahankan surplus neraca dagang yang jadi salah satu indikator pemulihan ekonomi.

"Pemerintah harus fokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Pingkan juga meminta pemerintah untuk mempermudah proses impor bahan baku untuk menggerakkan industri. Penurunan nilai impor, terutama pada bahan baku industri, seharusnya dilihat sebagai sebuah peringatan.

Nilai impor Indonesia pada November 2021 tercatat memiliki valuasi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 19,33 miliar dolar AS.

Porsi impor terbesar Indonesia masih dipegang sekor migas dengan impor di bulan November ini mencapai 3,03 miliar dolar AS atau setara dengan pertumbuhan 59,4 persen dari Oktober 2021 dan 178,9 persen year-on-year. Porsi terbesar ada pada komoditas hasil minyak.

Dari sektor non-migas, impor terbanyak adalah mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya serta mesin atau peralatan elektrik dan bagiannya dengan masing-masing mencatatkan valuasi sebesar 2,6 miliar dolar AS dan 2 miliar dolar AS.

Di sisi yang lain, terjadi penurunan impor produk pertanian dan perkebunan seperti serealia, gula dan kembang gula. Negara asal impor produk non-migas terbanyak masih China, diikuti oleh Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Thailand, Singapura dan Amerika Serikat.

"Berkurangnya impor juga merupakan salah satu dampak pandemi COVID-19 di mana industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan juga produksinya. Berkurangnya jumlah tenaga kerja dan produksi tentu juga mengurangi jumlah perdagangan, baik ekspor maupun impor," katanya.

Namun, Pingkan menilai adanya surplus neraca perdagangan bukanlah ukuran performa ekonomi sedang berjalan dengan baik.

"Ini harus dilihat secara detail ekspor-impor pada komoditas," imbuhnya.

Selain mencatat angka ekspor tertinggi bulan November 2021 juga mencatat surplus sebesar 3,51 miliar dolar AS. Secara kumulatif surplus sebelas bulan pertama 2021 mencapai 34,32 miliar dolar AS, peningkatan signifikan dibanding 19,52 miliar dolar AS pada periode yang sama pada 2020.

Sektor non-migas memberikan kontribusi terbesar pada ekspor Indonesia dengan 21,5 miliar dolar AS sementara sektor migas hanya menyumbang 1,3 miliar dolar AS yang didominasi ekspor gas senilai 0,9 miliar dolar AS pada November 2021.

China masih menjadi negara tujuan ekspor non-migas Indonesia yang terbesar dengan 5,4 miliar dolar AS diikuti dengan Amerika Serikat, Jepang, India, dan juga Malaysia yang masing-masing valuasinya berada di atas 1 miliar dolar AS.

Sedangkan untuk pangsa ekspor regional, pasar ASEAN masih memimpin dengan 4,1 miliar dolar AS jika dibandingkan dengan pasar Uni Eropa di 1,8 miliar dolar AS.

"Pemerintah perlu terus membuka peluang ekspor pada negara-negara non-tradisional untuk meningkatkan jangkauan ekspor produk Indonesia. Peningkatan daya saing produk juga harus terus dilakukan," kata Pingkan.

Baca juga: Wamendag: Perjanjian dagang tingkatkan surplus neraca perdagangan

Baca juga: Mendag minta jajarannya tingkatkan kinerja surplus neraca perdagangan

Baca juga: Kemenkeu proyeksikan kinerja ekspor-impor bakal terus membaik

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021