Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah mengatakan bahwa akses terhadap partai politik menjadi tantangan bagi kandidat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada fit and proper test.

“Harus kita akui bahwa berbeda dengan mekanisme seleksi sebelumnya yang ditangani oleh tim seleksi, fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) adalah mekanisme politis di mana kandidat diharuskan melakukan komunikasi, melobi, bahkan meminta dukungan politisi di parlemen,” kata Hurriyah.

Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan materi dalam seminar bertajuk “Menyoal Seleksi Penyelenggaraan Pemilu: Prospek dan Tantangan Fit and Proper Test di DPR” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube PUSaKO FHUA dan dipantau dari Jakarta, Minggu.

Baca juga: Puskapol UI: Kontribusi She Leads meningkat dalam seleksi KPU-Bawaslu

Oleh karena itu, pada uji kelayakan dan kepatutan, akan terdapat pertemuan antara dua kepentingan, yakni kepentingan partai politik dan kepentingan politik kandidat komisioner KPU dan Bawaslu.

“Tetapi tentu saja, ketika kita berbicara dalam konteks kepentingan, jangan sampai ini menihilkan upaya kita untuk menghasilkan komisioner-komisioner terpilih yang memiliki integritas, visi, dan inovasi untuk mewujudkan pemilu yang demokratis nantinya,” ujar dia.

Untuk melakukan komunikasi dengan politisi di parlemen, kandidat harus memiliki akses kepada partai politik untuk membuktikan kemampuan komunikasi kandidat di dalam proses seleksi ini.

Akan tetapi, tutur Hurriyah melanjutkan, tidak semua kandidat memiliki akses kepada seluruh partai politik atau tokoh-tokoh kunci di DPR. Dengan demikian, ia berpandangan bahwa proses komunikasi di dalam fit and proper test perlu dibuka seluas-luasnya, termasuk untuk kandidat perempuan.

Baca juga: Timsel buka ruang partisipasi publik dalam proses seleksi

“Lagi-lagi riset Puskapol UI menunjukkan bahwa memang salah satu tantangan yang dihadapi oleh kandidat perempuan di dalam proses seleksi itu adalah akses terhadap partai politik,” ucap dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI ini.

Kemudian ia menambahkan, tidak semua kandidat, terutama perempuan, memiliki jejaring politik dan dukungan politik yang kuat di parlemen. Apalagi, misalnya ada kendala psikologis untuk berkomunikasi kepada partai.

Ia menegaskan bahwa baik partai politik maupun kandidat perlu sama-sama membuka diri dan memiliki kemauan untuk saling berkomunikasi, karena uji kelayakan dan kepatutan memang proses politik yang mengharuskan ada komunikasi.

“Tidak boleh ada ruang gelap di dalam proses politik di DPR,” kata Hurriyah.

Baca juga: DPR dorong perempuan ikut seleksi komisioner KPU-Bawaslu

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022