Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR Bahruddin Nashori menyatakan, pengadilan in absentia terhadap tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nunun Nurbaeti yang kini masih buron bisa saja dilakukan, tergantung iktikad baik Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Bisa saja pengadilan in absentia dilakukan dan saya setuju, tapi itu tergantung iktikad baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mau atau tidak melakukannya," kata Bahruddin ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.

Dikatakannya, jika KPK memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan kasus itu, biar tidak berlarut-larut sehingga menurunkan kepercayaan publik, maka tidak ada salahnya pengadilan in absentia ditempuh.

"Jika itu dilakukan maka sekaligus menepis anggapan bahwa KPK ditekan pihak lain untuk mengeliminir kasus itu," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.

Terkait kekhawatiran sidang in absentia terhadap Nunun akan menutup peluang menemukan pihak lain yang terlibat di belakang istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun itu, menurut Bahruddin terlalu mengada-ada.

"Yang penting `action` dulu. KPK lakukan apa yang bisa dilakukan dulu. Kalau nanti Nunun pulang kan bisa ditindaklanjuti lagi," katanya.

Menurutnya, jika kasus itu dibiarkan berlarut-larut maka akan mengundang spekulasi bahwa kasus itu sengaja dibiarkan mengambang tanpa akhir yang jelas.

Sebelumnya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Andi Hamzah, mengatakan KPK bisa menggelar pengadilan in absentia terhadap Nunun Nurbaeti.

"Terdakwa korupsi yang melarikan diri bisa diadili secara in absentia," kata Andi Hamzah dalam diskusi hukum bertajuk "Masihkan Publik Percaya KPK?" di Jakarta, Rabu (16/11).

Dikatakannya, persidangan in absentia terhadap terdakwa korupsi bisa dilakukan sebagaimana diatur dalam Undang Undaang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Andi Hamzah menilai, langkah hukum tersebut dapat membantu KPK menuntaskan kasus itu dengan cepat, sehingga tidak terus berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti.

Terkait kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom tahun 2004 lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memvonis bersalah empat mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) penerima suap cek perjalanan, yaitu Dudhie Makmun Murod (F-PDIP), Endin AJ Soefihara (F-PPP), Hamka Yandhu (F-Golkar), dan Udju Djuhaeri (F-TNI/Polri).

KPK juga menetapkan 26 anggota dan mantan anggota DPR lainnya yang diduga ikut menerima cek perjalanan itu sebagai tersangka.

(S024/Z002)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011