Pekanbaru (ANTARA News) - Perambahan hutan di kawasan Suaka Margasatwa "Rimbang Baling" merupakan ancaman langsung terhadap satu kunci ekosistem di seluruh Sumatera.

Demikian `Animal Expert Worldwide Wildlife Fund` (WWF) Riau Program, Sunarto, kepada ANTARA, di Pekanbaru, Senin (5/11).

"Rimbang Baling adalah kawasan penyambung seluruh ekosistem yang ada di Pulau Sumatera," katanya.

Dari catatan ANTARA, "Rimbang Baling" ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa (SM) melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau Nomor 149/V/1982.

Kawasan itu memiliki luas 136.000 hektar, dengan tingkat keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi.

Berbagai macam vegetasi ditemukan mengisi bentang dan kontur alam yang variatif, dan tepat berada di antara jajaran Bukit Barisan sekaligus ekosistem gambut `Giam Siak Kecil`.

Sunarto mengambil contoh, jika keluarga `kucing unik` dijadikan sebagai ukuran, kawasan "Rimbang Baling" menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan dikatakan sebagai kawasan paling kaya keragaman hayatinya.

Ia memaparkan, berbagai macam mamalia mendiami kawasan hutan yang memiliki lansekap mulai dari dataran tinggi hingga rendah ini.

Dikatakan Sunarto, sedikitnya 170 jenis burung dan 50 jenis mamalia berbagai ukuran.

"Tapir, rusa, kukang, siamang, beruang madu sampai harimau mendiami daerah itu," kata Doktor lulusan Virgia Tech, Amerika Serikat ini.

Selain potensi ekologis, lanjutnya, "Rimbang Baling" memiliki peran penting dan berdampak langsung pada masyarakat, karena kawasan itu merupakan penopang air Sungai Kampar.

"Beberapa sungai besar yang menopang hidup masyarakat berhulu di sana," jelas Sunarto.

Ironisnya, menurutnya, kawasan tersebut saat ini justru terancam kelangsungannya karena perambahan hutan dan konversi lahan.

"Kegiatan perkebunan, pertambangan emas, dan pemukiman terus merongrong "Rimbang Baling", tuturnya.

Bencana banjir yang baru-baru ini terjadi di Sungai Kampar (Jumat, 25/11 lalu, menewaskan dua warga), ditengarai oleh beberapa pihak sebagai akibat laju perusakan hutan di kawasan "Rimbang Baling" semakin tak terkendali.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Hariansyah Usman, pun beberapa lalu bahkan menyebut, kerusakan itu disebabkan buruknya perencanaan dan tata kelola hutan, dan pembangunan yang tidak disertai pertimbangan ekologis.

"Itulah dampak penataan ruang yang amburadul dalam penetapan arah pembangunan, tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan keselamatan rakyat," kata Hariansyah.

Ditambahkannya, seharusnya pemerintah kembali berpegang kepada aturan hukum dalam penataan konsep tata ruang wilayah di daerah itu, seperti ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).

"Sesuai PP itu, harus dilaksanakan strategi pencegahan kerusakan lingkungan dengan menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup," tandasnya.

Saat ini, demikian Hariansyah, kegiatan perlindungan dan upaya konservasi di kawasan "Rimbang Baling" dirasa masih minim.

Sementara itu, Sunarto mengatakan pula, kegiatan lapangan sedikit kurang hidup dan karenanya perlu untuk digalakkan.

Ia juga berharap, pemantauan, dan kampanye untuk meningkatkan rasa memiliki atas hutan menjadi agenda penting, mengingat hutan membutuhkan peran serta masyarakat sekitarnya.

"Tidak harus LSM yang bicara, masyarakat juga diharapkan berperan aktif," katanya.

Di samping, menurutnya, dalam kaitan konservasi untuk menyelamatkan hutan dan masyarakat, pemerintah harus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan.

"Kita harus menekan kebijakan untuk berbuat dalam kerangka penegakan hukumnya," tandas Sunarto lagi. (ANT-027/M036)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011