Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Menkominfo yang mengharuskan penerapan sistem penagihan SMS lintas operator (off-net) berbasis biaya (cost based) dinilai masih sulit menghentikan pengiriman "SMS spam".

"Penerapan SMS berbasis biaya sudah terlambat, dan tak efektif hilangkan `spam`. Jika memang tujuan utamanya adalah menghentikan SMS spam kami yakini tidak akan efektif karena kompetisi di industri telekomunikasi selalu menimbulkan hal yang kreatif," kata Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa di Jakarta, Minggu.

Setyanto meyakini para pelaku usaha akan secara kreatif beradaptasi dengan aturan yang akan berlaku dengan melancarkan pola "tipuan pemasaran" (gimmick marketing) dengan lebih inovatif.

"Akan muncul penawaran yang cerdik dari para operator," ujarnya.

Mulai 1 Juni 2012 seluruh operator seluler diharuskan menerapkan sistem penagihan interkoneksi SMS lintas operator (off net) berbasis biaya.

Dalam waktu lima bulan ke depan, operator harus sudah siap dari sisi teknis dan non-teknis, sehingga tidak ada kendala di saat mengimplementasikannya.

Setidaknya terdapat 4 dasar hukum pengubahan pola penagihan dari sebelumnya pola "sender keep all/SKA" antara lain Peraturan Menkominfo No. 15 Tahun 200 8 tentang Tatacara Penetapan Tarif Jasa Teleponi Dasar yang Disalurkan Melalui Jaringan Tetap.

Perbedaan antara pola SKA dan cost based adalah SKA memungkinkan keuntungan diambil semuanya oleh operator pengirim SMS. Sedangkan jika berbasis interkoneksi, memungkinkan "revenue sharing" antara operator pengirim dan penerima.

Dengan begitu biaya interkoneksi SMS nantinya mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi meyakini pelanggan diuntungkan dari kondisi penagihan SMS berbasis biaya karena SMS spam akan berkurang mengingat pemicu SMS yang mengganggu itu adalah penawaran puluhan ribu SMS gratis off nett.

"Operator diharapkan tidak akan berani menawarkan SMS gratis ke sesama pelanggannya dalam konteks puluhan ribu karena akan merusak kenyamanan dan bisa memicu pindah layanan," ujar Heru.

Dalam revisi Peraturan Menteri No. 1/2009 tentang SMS Premium akan dimasukkan juga kewajiban operator menyediakan fasilitas "bloking SMS spam".

"Operator seharusnya tidak keberatan dengan kebijakan ini karena sudah diberitahu sejak 2006, SMS akan berbasis biaya," katanya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala yang harus dicermati dari pola interkoneksi baru ini adalah soal integritas dari personal-personal yang mengelola settlement.

"Harus ada transparansi. Jika hanya mengandalkan sumber daya dari Kominfo atau BRTI, dipastikan akan kedodoran," kata Kamilov.
(T.R017/Y008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011