Tidak ada siklus banjir lima tahunan, kalau pun terjadi itu hanya kebetulan"
Jakarta (ANTARA News) - Senin sore (16/1), air Sungai Ciliwung di wilayah Bukit Duri Pangkalan tampak hampir luber ke daratan.

Beberapa anak di situ tak peduli. Mereka tetap asyik mandi sambil bermain air di sungai. Ibu-ibu mereka tak kalah asyiknya.  Mereka mencuci pakaian tidak jauh dari situ.

Lumpur-lumpur yang dinaikkan banjir Sabtu malam sebelumnya (14/1) masih menutup pinggiran sungai.

Bagi Suparni (44), warga Bukit Duri Pangkalan, banjir adalah hal biasa, sebiasa siklus hidup yang dijalaninya. Kesiapan menghadapi banjir pun cuma sebatas meninggikan rumah..

Pemukiman padat di bantaran Sungai Ciliwung itu memang rata-rata berlantai dua. Di lantai ataslah biasanya barang-barang mereka letakkan. Kata Suparni, agar ketika tiba-tiba datang banjir, mereka tidak perlu bolak-balik angkut barang.

"Kalau yang bawah kami kosongin, hanya untuk memasak. Kalau tidur di atas," katanya.

Suparni juga harus membiasakan diri dengan gatal-gatal pada kulit akibat banjir. Sedangkan anak-anak mereka biasanya terkena flu.

Lagi-lagi, bagi mereka itu adalah hal biasa.

"Lumpurnya (banjir) yang bikin gatal-gatal," kata Suprani sambil mengoleskan salep ke kakinya.

Kepada ANTARA News di hari sama Suprani ditemui, Badan Meteorologi Kliminologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa puncak musim hujan akan terjadi pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari.

Untuk itu, BMKG mengingatkan warga Jakarta, terutama di kawasan langganan banjir, untuk bersiap menghadapi banjir.

Namun orang-orang seperti Suparni tidak punya persiapan khusus.

Biasanya, kata Suparni, ketua RT akan mengumumkan kepada warga bahwa ada kiriman air dari Bogor.  Warga akan diberitahu seberapa tinggi dan pukul berapa air kiriman itu datang.

"Siap-siap nanti air datang'. Itu kalimat yang biasa diucapkan kalau ada air kiriman," kata Suparni.

Siklus lima tahunan?

"Sebenarnya saya ingin pindah, siapa sih yang mau kena banjir terus?" lontar warga Bukit Duri Pangkalan lainnya, Maliki (26), yang sejak lahir tinggal di situ.

Rumah-rumah di kawasan tersebut, berdesakan di pinggir bantaran Sungai Ciliwung, dipisahkan gang-gang sempit. Tak heran jika kawasan berdataran rendah itu menjadi santapan setia banjir tahunan.

Kamis pekan lalu (12/1), Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mengingatkan kawasan itu akan bahaya banjir.

"Katanya banjir lima tahunan bakal besar, tapi persiapan sih tidak ada, sudah biasa," kata Rinda (53), juga tinggal di Bukit Duri.

Rinda berkisah, pada 2007, ketinggian banjir di wilayahnya mencapai tujuh meter. Ia dan warga sekitar harus mengungsi lama di gereja terdekat. Harta bendanya hanyut dibawa air. Bukan itu saja, ibunya meninggal dunia akibat syok melihat begitu besarnya banjir.

Rinda adalah salah satu dari banyak orang yang percaya adanya siklus banjir besar lima tahunan. Ini terutama ditopang oleh banjir besar yang terjadi pada 2002 dan 2007.

Tahun ini, tepat lima tahun setelah banjir besar 2007, warga Jakarta mengkhawatirkan siklus itu terjadi.

Ketika banjir besar Februari 2007 menggerus Jabodetabek selama 5 hari, kerugian yang diderita wilayah ini mencapai Rp8,6 triliun.  Angka ini setara dengan 48 persen APBD DKI tahun 2006.

60 orang meninggal akibat bencana ini, sementara 260 ribu orang menjadi pengungsi dadakan.

Namun, Kasubid Informasi BMKG Hary Tirto Djatmiko menangkis asumsi siklus banjir lima tahunan itu. Menurutnya, teori meteorologi tidak mengenal siklus banjir lima tahunan.

"Tidak ada siklus banjir lima tahunan, kalau pun terjadi itu hanya kebetulan," kata Hary.

Baru bisa disebut siklus, lanjut Hary, jika sebaran hujan dan curah hujan sama. Padahal, penyebab dan sebaran hujan di wilayah Jabodetabel tidak pernah sama, sambungnya.

Kementerian Lingkungan Hidup lain lagi.  Menurut Kementerian ini, potensi bencana banjir tahun 2012 memiliki pola cuaca sama dengan tahun 1992 dan 2006. Kementerian juga mengatakan potensi banjir tahun ini disebabkan oleh laju kerusakan lingkungan, yaitu semakin berkurangnya tutupan lahan dan daerah resapan.

Penyebab penting lainnya adalah prilaku masyarakat yang belum ramah lingkungan, khususnya dalam memperlakukan sampah.

Saat ini, sekitar 2,5 persen timbulan sampah Jakarta atau sebesar 600 m3/hari masuk ke Sungai Ciliwung. Apabila disebar di lapangan sepakbola (dengan tinggi timbulan sampah kira-kira 20 cm) maka setiap hari ada timbulan sampah seluas 7 lapangan sepakbola yang menyumbat Sungai Ciliwung dan memperburuk banjir di Jakarta.

Siklus banjir lima tahunan itu memang tidak ada, namun antisipasi banjir dan perilaku ramah lingkungan harus ditingkatkan mulai dari sekarang, jika tidak banjir besar tahun 2007 bisa saja terulang.(*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012