Jakarta (ANTARA) - Penelitian yang dilakukan Yayasan Relief Islami Indonesia (YRII) menunjukkan kehidupan perempuan di Indonesia mengalami dampak besar akibat perubahan iklim yang menyebabkan hilangnya pendapatan dan hari-hari sekolah serta kesehatan mental yang buruk.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, CEO YRII Nanang S Dirja menyampaikan bahwa perlu mendorong semua pihak untuk memperhatikan isu perempuan, anak, kaum disabilitas dan kelompok marginal lainnya. Komitmen dunia melalui Perjanjian Paris harus didukung dengan dana miliaran dolar AS.

"Perubahan iklim berdampak pada manusia, terutama untuk kaum perempuan, anak, orang tua dan kaum disabilitas itu yang paling parah dampaknya. Dari hasil penelitian sudah banyak yang membuktikan hal itu," katanya.

Baca juga: Dampak perubahan iklim paling banyak dirasakan perempuan dan anak

Ia mengatakan perubahan iklim berpengaruh pada penurunan kualitas pangan, ketersediaan air hingga kesehatan.

Menurut penelitian tentang Pengarusutamaan Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim di lima kabupaten/kota di Pulau Lombok, NTB bekerja sama dengan Universitas IPB mengungkapkan lebih dari separuh perempuan yang diwawancarai atau 51 persen mengatakan kehilangan pendapatan karena perubahan iklim.

Sekitar 41 persen mengatakan bahwa mereka sekarang menghadapi kesulitan keuangan sebagai akibatnya.

Sekarang sumber air mengering, mereka harus berjalan berkilometer untuk menemukan air bersih, menyisakan lebih sedikit waktu bagi mereka untuk melakukan pekerjaan berbayar dan berpotensi membahayakan diri mereka sendiri.

Baca juga: Komisi Perempuan serukan investasi untuk solusi atasi perubahan iklim

Berbicara dalam seminar "Perempuan dan Anak-Anak di Garis Depan Perubahan Iklim" YRII di Jakarta Pusat, Kamis (24/11), Nanang menyoroti laporan Bank Dunia yang menyebut Indonesia berada di peringkat 12 dari 35 negara berisiko akibat bencana terkait perubahan iklim termasuk tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan gempa bumi.

"Mayoritas penduduk mencari nafkah dari perikanan dan pertanian dan sektor-sektor itu sangat berisiko terhadap kenaikan permukaan laut dan perubahan suhu dan curah hujan," katanya.

Perempuan juga berperan penting di sektor pertanian, kata dia, kebanyakan berprofesi sebagai petani padi dan bekerja sebagai buruh tani.

Menurut keterangan petani perempuan yang diwawancarai pada 2022 tingkat produksi tanaman menurun karena curah hujan yang tinggi.

Baca juga: Menteri LHK ajak kaum perempuan jadi pelopor isu perubahan iklim

Penelitian menunjukkan bahwa petani perempuan sangat rentan karena mereka kurang memiliki akses ke lahan dan modal.

"Oleh karena itu, kami mengundang Bappenas, NGO, dan kampus-kampus berembuk bersama soal kebijakan dan program," ujar Nanang

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022