Lagos (ANTARA News) - Ketua blok Afrika Barat ECOWAS hari Jumat menyetujui pengiriman segera pasukan ke Mali, dalam sebuah pernyataan yang disampaikan ketika ofensif militer sedang dilakukan terhadap kelompok garis keras yang menguasai wilayah utara negara tersebut.

"Ketua, setelah pembahasan dengan mitra-mitranya dan sesuai dengan Resolusi 2085 Dewan Keamanan (PBB), memutuskan mensahkan pengiriman segera pasukan di bawah (Misi Pendukung Internasional pimpinan Afrika di Mali) untuk membantu militer Mali mempertahankan kesatuan wilayahnya," kata pernyataan yang ditandatangani oleh Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara, yang saat ini menjabat sebagai Ketua ECOWAS, lapor AFP.

Pernyataan itu disampaikan setelah militer Mali mengatakan bahwa prajurit-prajurit dari Nigeria, Senegal dan Prancis ditempatkan di Mali, Jumat, untuk membantu pasukan pemerintah dalam ofensif mereka terhadap militan garis keras yang telah bergerak maju ke wilayah tengah negara itu.

Mali hari Jumat juga mengumumkan keadaan darurat di negara tersebut.

Dalam pernyataannya, Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) yang beranggotakan 15 negara mengungkapkan "kekhawatiran yang dalam setelah memburuknya keadaan di Mali".

Mereka terutama khawatir "atas upaya pasukan pendudukan teroris saat ini untuk menguasai kota Konna dan gerak maju mereka ke arah selatan di posisi-posisi yag dikuasai angkatan bersenjata Mali".

Pernyataan itu tidak memberikan penjelasan terinci mengenai penempatan pasukan ECOWAS.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara Mali, namun PBB masih berkeberatan dan memperingatkan bahwa penempatan itu mungkin bisa dilakukan setahun lagi.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia.

Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013