Gao, Mali (ANTARA News) - Bentrokan antara prajurit Mali dan militan meletus Minggu di jalan-jalan di Gao, kota terbesar di Mali utara yang diguncang serangan-serangan bom bunuh diri dalam dua hari terakhir.

Kedua pihak terlibat dalam tembak-menembak pada sore hari di pusat kota itu di dekat kantor polisi, kata seorang koresponden AFP.

Pasukan yang dipimpin Prancis merebut kembali Gao pada 26 Januari dari militan terkait Al Qaida yang menguasai wilayah Mali utara selama 10 bulan setelah kudeta militer.

Bentrokan di jalan itu berlangsung setelah serangan bom bunuh diri Sabtu larut malam di sebuah pos pemeriksaan militer di pintu gerbang kota itu, sesudah serangan serupa di lokasi yang sama sehari sebelumnya.

Kedua pemboman bunuh diri itu merupakan serangan-serangan pertama semacam itu di Mali.

Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), salah satu kelompok yang menguasai Mali utara sebelum dihalau oleh pasukan intervensi Prancis yang diluncurkan pada 11 Januari, mengklaim bertanggung jawab atas serangan pertama dan pada Sabtu mengancam akan melancarkan serangan-serangan lebih lanjut.

"Kami bertekad melancarkan serangan-serangan lebih lanjut terhadap pasukan Prancis dan sekutunya. Kami meminta penduduk setempat menjauhi zona militer dan menghindari ledakan," kata juru bicara MUJAO Abou Walid Sahraoui.

Serangan-serangan bom bunuh diri itu hanya menewaskan kedua pelakunya.

Satu prajurit cedera ringan dalam pemboman Jumat. Tidak ada lagi yang cedera dalam serangan Sabtu, kata seorang prajurit di pos pemeriksaan itu.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2.000 prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013