Jakarta (ANTARA News) - Wacana dari sejumlah pihak yang menginginkan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 lama merupakan cermin dari kekurangpahaman mereka akan konstitusionalisme karena UUD 1945 yang ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945 belumlah sempurna, kata seorang pakar dan praktisi hukum. "Jika kita telaah secara mendalam UUD 1945, maka kita menyadari bahwa UUD tersebut sangat ringkas dan kurang memberikan ruang pada demokratisasi, jaminan hak asasi manusia (HAM), dan pada mekanisme `check and balance`," kata Todung Mulya Lubis yang juga ketua Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Jakarta, Jumat. Menurut Todung, UUD 1945 adalah produk dari situasi darurat sehingga secara inheren bersifat sementara dan mengandung niat untuk diubah. Selain itu, berdasarkan pengalaman politik Indonesia pada masa Orde Baru, kandungan paham integralistik dan sentralisme kekuasaan eksekutif yang demikian besar dalam UUD 1945 awal itu telah mendasari lahirnya politik otoritarian, katanya. Meski mengakui bahwa proses amandemen belum lengkap dan sempurna, namun Todung berpendapat, amandemen terhadap UUD 1945 telah menghasilkan konstitusi yang lebih menjamin berlangsungnya demokratisasi, HAM, dan mekanisme `check and balance`. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dengan munculnya berbagai lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisional yang merupakan lembaga penguat mekanisme `check and balance`, katanya. Berkaitan dengan amandemen yang belum tuntas, ia mengatakan, hal itu antara lain dapat dilihat pada Dewan Perwakilan Daerah yang dapat dianggap masih belum memiliki kewenangan cukup dan seimbang dengan perannya. "DPD seperti menjadi `junior partners` (rekan yunior) Dewan Perwakilan Rakyat," katanya. Padahal, DPD sebenarnya sangatlah vital dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dengan otonomi daerah. Ini membuat pelaksanaan otonomi daerah masih terkesan setengah hati, katanya. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa pemberian wewenang yang lebih besar untuk DPD sebenarnya bukan hanya untuk kepentingan otonomi daerah, tapi untuk kepentingan demokrasi pula.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006