Surabaya, (ANTARA News) - Puluhan aktivis Lingkungan Hidup (LH) di Surabaya yang tergabung dalam FOSIL (Forum Studi dan Pemerhati Lingkungan) Surabaya, Rabu (26/7), memperingati Hari Mangrove (hutan bakau) se-dunia dengan menggelar aksi teatrikal dan longmarch dari depan gedung negara Grahadi Jatim ke Balai Kota Surabaya. Dalam aksi teatrikal itu digambarkan seorang petani yang dipukul seorang pengusaha dan pejabat pemerintahan dengan tangkai mangrove, kemudian petani itu membabat habis mangrove yang dipegang dua orang aktivis LH di Surabaya. Peserta aksi sempat berhenti sejenak di seberang jalan tepat di depan gedung negara Grahadi atau di bawah patung Gubernur Suryo untuk berorasi dan mengedarkan selebaran imbauan kepada pengendara mobil dan motor yang lewat Jl Gubernur Suryo. Usai berorasi, aksi para aktivis LH yang didukung Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL) Jatim itu melakukan longmarch ke Balai Kota Surabaya dengan membentangkan sejumlah poster tentang keprihatinan atas hilangnya hutan mangrove di Surabaya. Poster yang dibawa antara lain berbunyi Selamatan Hutan Mangrove atau Bencana, Mangrove Hilang - Tsunami Datang, Stop Pembukaan Lahan Baru di Pamurbaya (Pantai Timur Surabaya), Dinas Kehutanan dan Kelautan Loyo, dan Bambang DH (Walikota Surabaya) Harus Bertanggungjawab. "Rusak atau hilangnya hutan mangrove di Pamurbaya merupakan akibat lemahnya pengawasan pemerintah kota (Pemkot) Surabaya, sehingga terjadi penebangan untuk pembukaan lahan tambah, pemukiman, dan industri," ujar koordinator aksi FOSIL, Tunjung. Menurut dia, hilangnya mangrove akhirnya menurunkan kualitas lingkungan akibat erosi, abrasi, dan intrusi yang memudahkan masuknya tsunami, kemudian pemasukan nelayan juga menurun akibat hilangnya biota laut. "Karena itu, Bambang DH harus bertanggungjawab, apalagi upaya Pemkot menanam 550.000 bibit mangrove di Pamurbaya pada 2004 juga sia-sia, karena hanya 50 persen yang hidup dan hal itu pun sudah tidak sedikit yang rusak," paparnya. Selain itu, tegasnya, Pemkot Surabaya justru mengizinkan pembangunan real estate di kawasan pesisir mulai dari Kenjeran hingga Tambakoso, sehingga "green belt" (sabuk hijau) berupa hutan mangrove pun hilang. "Apa kita ingin tsunami atau banjir melanda Surabaya, karena tak ada mangrove dan lahan resapan," ucapnya.

Copyright © ANTARA 2006