Saya akan menjadi presiden rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional diperlukan untuk menghadapi tuntutan sah rakyat kita."
New York (ANTARA News) - Pemilihan presiden Mali merupakan "tonggak sejarah" dalam pemulihan perdamaian, namun upaya jangka panjang diperlukan untuk memperkuat demokrasi di negara Afrika itu, kata utusan khusus PBB Romano Prodi, Kamis.

"Fokus kolektif kini harus bergerak ke penanaman lembaga-lembaga demokratis, penguatan rekonsilisi nasional dan pembukaan jalan bagi pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja," kata Prodi dalam sebuah pernyataan, lapor AFP.

Prodi, seorang mantan perdana menteri Italia yang menjadi utusan khusus PBB untuk kawasan Sahel, menggarisbawahi "sifat tantangan dan peluang regional, dengan memperingatkan bahwa seluruh kawasan Sahel yang rapuh perlu dibantu untuk membangun perdamaian yang bisa bertahan", kata pernyataan itu.

Ia menambahkan, badan dunia itu bekerja untuk melaksanakan sebuah strategi terpadu PBB bagi kawasan tersebut, yang mencakup negara-negara di sebuah wilayah transisi sebelah selatan Sahara.

Rabu, pemimpin baru Mali Ibrahim Boubacar Keita berjanji akan menjadi "presiden rekonsiliasi nasional", dalam pernyataan publik pertamanya sejak ia menang dalam pemilihan umum.

Keita, yang berbicara sehari setelah mahkamah konstitusi mengukuhkan kemenangannya dalam pemilu presiden lanjutan pada 11 Agustus, menyatakan, ia akan memulihkan tatanan hukum dan membangun kembali lembaga-lembaga negara yang hancur akibat perang di Mali.

"Saya akan menjadi presiden rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional diperlukan untuk menghadapi tuntutan sah rakyat kita," katanya pada jumpa pers di markas kampanyenya di Bamako, ibu kota Mali.

Keita (68), seorang mantan perdana menteri, akan mulai bertugas sebagai presiden pada 4 September dan memimpin negara Afrika Barat itu keluar dari krisis politik 17 bulan yang disulut oleh kudeta militer.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.


Penerjemah: Memet Suratmadi

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013