Bamako (ANTARA News) - Ibrahim Boubacar Keita (68) dilantik sebagai presiden baru Mali, Rabu, setelah ia menang besar dalam pemilihan umum yang diharapkan dapat mengakhiri konflik dan kekacauan politik selama berbulan-bulan.

Keita, seorang mantan perdana menteri, berjanji bekerja bagi persatuan Afrika ketika ia memulai masa tugasnya selama lima tahun sebagai Presiden Mali.

Pengambilan sumpah Keita disaksikan oleh mantan pemimpin sementara Mali, Dioncounda Traore, dan lebih dari 1.000 politikus Mali, diplomat dan personel militer dalam sebuah upacara di ibu kota negara itu, Bamako.

"Saya bersumpah demi Tuhan dan rakyat Mali bahwa saya akan sungguh-sungguh menjaga republik, menghormati dan menegakkan konstitusi dan hukum, melaksanakan tugas-tugas saya untuk kepentingan terbaik rakyat, mempertahankan hasil-hasil demokrasi, menjamin persatuan nasional, kemerdekaan negara serta kesatuan wilayah nasional," katanya.

Para tamu pada upacara itu mencakup mantan menteri Soumaila Cisse, yang dikalahkan Keita dalam pemilihan lanjutan pada 11 Agustus, dan mantan Presiden Moussa Traore, yang digulingkan dalam kudeta militer pada Maret 1991 setelah berkuasa selama 23 tahun.

Pelantikan itu dilakukan setelah penyerahan kantor kepresidenan Mali di Koulouba, dekat Bamako, di mana Traore menyerahkan kekuasaan kepada Keita.

Pemilihan umum presiden dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika Barat yang dilanda perang itu.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.

(M014)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013