Itu lah dinamika penegakan hukum. Kalau penjahat itu bisa berkolabirasi, mengapa penegak hukum tidak bisa berkolaborasi melawan penjahat itu. Harusnya kan kita sama-sama,"
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigjen Pol Arief Sulistyanto menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong yang meloloskan Labora Sitorus dari dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Itu lah dinamika penegakan hukum. Kalau penjahat itu bisa berkolabirasi, mengapa penegak hukum tidak bisa berkolaborasi melawan penjahat itu. Harusnya kan kita sama-sama," kata Arief saat ditemui di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.

Arief bersikukuh dirinya meyakini berdasarkan bukti-bukti, bahwa Labora diduga kuat melanggar Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

"Dari laporan awal kan ditemukan bisnis kayu dan minyak, keduanya divonis ilegal, artinya jika kegiatannya saja ilegal, hasilnya juga ilegal dan (hasilnya) ini triliunan, otomatis ditransaksikan, diubah itu (disebut) TPPU. Gampang saja sebetulnya," katanya.

Arief juga mengatakan pihaknya juga sudah menemukan bukti kemana saja aliran hasil kegiatan ilegal itu dan sudah lengkap.

"Seharusnya hakim bisa lebih hebat karena hakim yang menguji pembuktian oleh penyidik. Pada waktu itu pun ahli TPPU hadir di Sorong bersama saya dan sudah ketemu (bukti TPPU), kalau dikatakan tidak terbukti monggo (silakan) saja," katanya.

Meskipun proses di penyidik Polri sudah selesai akan kasus ini, Arief mengatakan pihaknya mendukung jaksa penuntut umum (JPU) untuk banding dan menuntut hingga pidana 15 tahun penjara.

"Kita tidak bekerja sendiri, bersama-sama dengan PPATK dan Kejaksaan Agung menganalisis semua laporan-laporan ini," katanya.

Namun, dia mengaku sudah bekerja secara maksimal dalam pembuktian aliran dari hasil kejahatan kayu dan minyak ilegal itu.

"Kami sudah maksimal untuk melakukan pembuktian itu. Ini yang saya bilang TPPU itu kejahatan kerah putih yang sulit sekali membutikannya, selalu ada upaya penggagalan. Kalau perlu dibeli lah itu penyidiknya," katanya.

Aiptu Labora Sitorus anggota Polres Raja Ampat, Papua Barat yang memiliki rekening gendut Rp1,5 triliun hanya divonis hukuman dua tahun penjara dan denda Rp50 juta.

Majelis hakim hanya menjatuhkan putusan jika Aiptu Labora melanggar Undang-undang Minyak dan Gas, serta Undang-undang kehutanan, sementara untuk Labora lepas dari dakwaan keempat yaitu pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Labora dengan pasal berlapis. Pada pasal kesatu primair, terdakwa LS dijerat pasal 78 ayat (5) Jo pasal 50 ayat (3) Huruf (f) Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999, sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pada pasal subsidair, terdakwa Labora dijerat pasal 78 ayat (5) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf (h) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Pasal kedua, Labora dijerat pasal 53 Huruf (b) UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan ketiga, JPU juga menjerat terdakwa Labora dengan pasal 3 ayat (1) Huruf c UU Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU.(*)

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014