Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus pemenggalan kepala tiga siswi SMU Poso, Sulawesi Tengah, Hasanuddin, dalam eksepsi pribadinya mengakui keterlibatannya dalam kasus tersebut. "Pada dasarnya, saya dengan jujur mengakui ikut terlibat dalam kasus yang didakwakan kepada saya. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi keberatan saya," kata Hasanuddin alias Hasan, saat membacakan eksepsi pribadi dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu. Meski mengaku terlibat, Hasan membantah dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa dirinya adalah "otak" di balik kasus pemenggalan itu. Ia hanya mengaku mengetahui rencana pemenggalan kepala dan mengaku bersalah karena membiarkan rencana tersebut dijalankan oleh teman-temannya. Dalam eksepsi setebal delapan halaman yang ditulis tangan itu, Hasan membantah dakwaan JPU yang menyebutkan ide untuk memenggal kepala siswi SMU sebagai hadiah Lebaran itu berasal darinya. Menurut dia, ide itu datang dari Ustadz Sanusi yang saat ini masih dalam status buron dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Ia juga mengatakan uang untuk membeli parang yang digunakan memenggal kepala tiga siswi SMU bukan berasal darinya, seperti yang didakwakan oleh JPU, namun berasal dari Ustadz Sanusi. Dalam eksepsinya, Hasan juga membantah memberikan motivasi atau arahan kepada dua terdakwa lain, Lilik Purnomo alias Haris dan Irwanto Irawan alias Iwan guna melakukan pemenggalan terhadap tiga siswi Poso. Hasan mengungkapkan motivasi di balik pemenggalan kepala siswi SMU itu dalam eksepsinya. Tindakan itu dilakukan sebagai pembelaan atas penyerangan terhadap santri-santri di Pondok Pesantren Walisongo di Poso. Ia menuturkan, pihaknya merasa harus melakukan pembalasan karena khawatir akan terus dibantai apabila hanya berdiam diri, sementara perlindungan dari aparat keamanan sangat minim. Di akhir eksepsinya, Hasan menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. "Dengan kejujuran, keikhlasan, dan ketulusan dari hati nurani, kami mohon maaf kepada semua keluarga korban. Kami berjanji tidak akan mengulangi lagi dan ini yang terakhir. Semoga tidak pernah terulang lagi," tuturnya. Eksepsi TPM Sementara itu, kuasa hukum Hasan dari Tim Pembela Muslim (TPM), Fachmi Bachmid, dalam eksepsinya mempertanyakan pemindahan lokasi sidang dari PN Poso ke PN Jakarta Pusat. Selain melanggar asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah, Fachmi mengemukakan pemindahan sidang terhadap terdakwa dirasakan diskriminatif karena tidak seluruh kasus kerusuhan Poso disidangkan di PN Jakarta Pusat, seperti halnya perkara dengan terdakwa Fabianus Tibo yang disidangkan di PN Poso. Dalam eksepsinya, TPM juga menyatakan aktivitas-aktivitas Hasan seperti yang tercantum dalam surat dakwaan belum dapat dijadikan suatu kualifikasi bahwa terdakwa sebagai perencana dan penggerak (aktor intelektual) dalam perkara itu. Hasan pada persidangan sebelumnya, 8 November 2006, didakwa sebagai "otak" pembunuhan terhadap tiga siswi SMU Kristen Poso, pada 29 Oktober 2005. Sedangkan dua terdakwa lainnya, Lilik Purnomo alias Haris dan Irwanto Irano, yang baru disidangkan pada Rabu 15 November 2006, didakwa sebagai perencana pembunuhan. Namun, tiga pelaku pembunuhan yang memenggal kepala tiga siswi SMU, yaitu Papa Yusran alias Isran, Agus Jenggot, dan Basri, sampai saat ini belum tertangkap dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Menurut dakwaan, Hasanuddin pada awal Oktober 2005, di perpustakaan Ulil Arbab, Poso, melontarkan ide kepada Ustadz Sanusi untuk memberikan hadiah kejutan Lebaran. Terdakwa, menurut JPU, kemudian memberikan perintah kepada dua terdakwa lain, Lilik Purnomo dan Irwanto Irano, untuk mencari sasaran yang tepat. Selama beberapa hari, Lilik dan Irwanto kemudian melakukan survei untuk menemukan target yang tepat. Keduanya menemukan enam siswi SMU Kristen Poso yang setiap hari berjalan kaki melalui jalan setapak dari rumah mereka di Kampung Bukit Bambu, ke sekolah mereka yang berada di wilayah Sayo. Lilik dan Irwanto setidaknya melakukan empat kali survei untuk mengamati jalan setapak yang setiap hari dilalui oleh keenam siswi tersebut dan juga mengamati aktivitas lalu-lalang masyarakat di sekitar jalan setapak itu. Keduanya kemudian membeli enam parang seharga Rp180 ribu dan dua pak plastik hitam berukuran besar seharga Rp20 ribu di pasar sentral Poso dengan menggunakan uang yang berasal dari terdakwa. Setelah survei keempat, Lilik dan Irwanto merekrut Papa Yusron alias Isran, Nanto alias Bojel, Agus Jenggot, Basri, dan Wiwin Kalahe alias Tomo, untuk melaksanakan rencana mereka. Pada Sabtu, 29 Oktober 2005, sekitar pukul 05.14 Wita, Irwanto dan Lilik beserta lima teman mereka yang baru direkrut berangkat dari rumah Irwanto menuju jalan setapak yang biasa dilalui oleh enam siswi SMU yang dijadikan target oleh mereka. Lilik berperan sebagai koordinator lapangan dan menunjuk Irwanto untuk memimpin tim penyergap yang beranggotakan Basri, Agus, Bojel, dan Papa Yusran. Sekitar pukul 06.45 WITA, mereka melihat empat siswi yang mengenakan seragam pramuka, yaitu Alfito Polino, Theresia Morangki, Noviana Malewa, dan Yarni Sambu. Setelah mendapatkan aba-aba dari Lilik, mereka kemudian melakukan penyergapan. Papa Yusran memenggal kepala Alfita Polino dengan parang sehingga terpisah dari badannya, Agus Jenggot memenggal kepala Theresia Morangki dengan parang hingga terpisah dari badannya. Sedangkan Basri memburu Noviana Malewa, namun Noviana hanya terkena tebasan parang di pipi kanannya dan berhasil meloloskan diri. Basri kemudian memburu Yarni Sambua dan memenggal kepalanya hingga terpisah dari badannya. Para penyergap menutupi wajah mereka dengan kain saat melakukan penyerangan. Setelah melakukan penyerangan, Tomo alias Wiwin Kalahe kemudian membawa ketiga kepala itu kepada terdakwa yang menunggu di kompleks Tanah Runtuh, Jalan Pulau Irian Jaya, Kelurahan Gebang Rejo. Irwanto kemudian meminta kepada terdakwa untuk mengamankan parang yang digunakan untuk memenggal kepala korban. Parang itu kemudian diserahkan oleh terdakwa kepada Ustadz Kholiq yang dibawa oleh Ustadz ke rumahnya. Pada hari yang sama, 29 Oktober 2005, sekitar pukul 07.30 WITA, seorang warga bernama Slamet Puajole menemukan dua tas plastik berwarna hitam di pinggir jalan raya ke arah Tentena di antara Desa Tagolu, Kecamatan Lage, dan Desa Sinwutu, yang berisikan dua potong kepaa manusia. Tas plastik itu ditemukan beserta surat tulisa tangan yang dibuat sebelumnya oleh terdakwa. Sedangkan satu potongan kepala lagi ditemukan oleh Roslin Moronggu dalam kantong plastik warna hitam di teras rumahnya di Kelurahan Kasiguncu. Dalam dakwaan pertama primer, Hasanuddin didakwa dengan pasal 14 Perppu No 1 Tahun 2002 jo pasal 1 UU 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Sedangkan pada dakwaan pertama subsider, ia dijerat pasal 15 jo pasal 7 UU yang sama. Dalam dakwaan kedua primer, Hasanuddin dijerat pasal 340 KUHP tentang secara sengaja berencana menghilangkan nyawa orang lain, yang ancaman maksimalnya hukuman mati. Dua terdakwa lain, Lilik Purnomo, dan Irwanto Irano, didakwa dengan pasal yang sama dengan Hasanuddin, kecuali dalam dakwaan pertama primer. Pada dakwaan pertama primer, keduanya dijerat pasal 15 UU terorisme. Majelis hakim yang diketuai oleh Binsar Siregar menunda sidang hingga 22 November 2006 dengan agenda tanggapan dari JPU atas eksepsi terdakwa dan penasehat hukum terdakwa. (*)

Copyright © ANTARA 2006