Jakarta (ANTARA News) - Media pandang-dengar diyakini memiliki kekuatan dahsyat membentuk opini massa dan memperpanjang memori kolektif bangsa, tidak terkecuali film yang menampilkan fakta kehidupan atau lebih dikenal dengan istilah film dokumenter.

Penayangan kembali film dokumenter yang dirilis pada tahun 1946 berjudul "Indonesia Calling" ini seolah mampu membawa kembali suara-suara masa silam, seputar dukungan kemerdekaan Indonesia dari para pekerja pelabuhan di Sydney Australia.

Aksi solidaritas itu berbentuk mogok kerja, yang diperlihatkan dengan adegan pekerja berbondong-bondong keluar dari ruang kerjanya berjalan menuju tempat terbuka dan duduk-duduk saja.

Aksi mogok itu termasuk menolak pengisian bahan bakar bagi kapal-kapal berbendera Belanda yang mengangkut senjata dan amunisi menuju negara yang baru saja merdeka, Republik Indonesia.

Namun, narasinya samar terdengar karena film telah usang dimakan usia.

Sutradara yang menggarap film itu adalah Joris Ivens, seorang sineas pada zamannya. Joris Ivens banyak membuat film, termasuk film dokumenter bertema perang, di antaranya "The Spanish Earth" yang bercerita tentang propaganda saat perang sipil di Spanyol, juga film "17th Parallel: Vietnam in War."

Menurut pendiri dan pengelola majalah Historia Bonny Triyatna, film dokumenter berjudul "Indonesia Calling" menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia diiringi pula dengan solidaritas internasional, termasuk para buruh pelabuhan di Sydney Australia.

Film dokumenter, kata alumnus Universitas Diponegoro itu, adalah sumbangan potongan fakta bahwa bangsa Indonesia berdiri, tumbuh, dan merdeka tidak terlepas dari dukungan internasional. Perjuangan mengangkat senjata diiringi pula dengan perjuangan politik dan kemanusiaan.

"Film dokumenter seperti yang kita pahami, sangat berbeda dengan film komersial atau film fiksi yang lain," kata Eka Wenats Wuryanta, pembicara dalam diskusi film tersebut di Galeri Foto Jurnalistik Antara beberapa waktu lalu.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang mengambil program master dan doktornya di Universitas Indonesia itu mengutarakan bahwa film dokumenter dengan "framing" tertentu ingin menyajikan potongan kebenaran secara jujur tanpa diembeli dengan tambahan dramaturgi yang lain.



Momen Pengingat Kolektif

Menurut Eka Wenats, film dokumenter mampu membuat sejarah berumur panjang, artinya media pandang-dengar tersebut bisa menjadi momen pengingat kolektif akan fakta-fakta pada masa lalu yang kadang menyajikan sisi atau dimensi yang terlupa oleh ingatan kolektif.

"Dalam konteks inilah, film dokumenter itu justru menyediakan wahana atau dimensi untuk mengajak orang mempunyai ingatan atau memori sejarah yang panjang," kata dia.

Eka Wenats menambahkan, "Kita mempunyai kecenderungan mempunyai ingatan sejarah yang pendek sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa bangsa ini kadang justru melupakan kekayaan sejarah yang begitu beragam dan begitu inspiratif."

Ia menegaskan, "Saya meyakini bahwa orang atau bangsa yang berhasil pada masa depan adalah bangsa yang mampu memeluk sejarahnya secara komprehensif dan jujur."

Mungkin Eka Wenats benar. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah sesungguhnya memori kolektif itu? Kenapa begitu penting dan kenapa bisa hilang atau menyusut?

Dalam makalah Agus Arismunandar dan Wanny Rahardjo yang dipresentasikan saat diskusi tentang dokumentasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-Lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI), disebutkan bahwa memori kolektif adalah bagian dari tradisi lisan. Memori kolektif sebenarnya tidak bisa dilihat dalam wujud konkret, tetapi dapat dirasakan kehadirannya.

Dua pakar dari Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, itu menulis bahwa ingatan manusia pada dasarnya tidak pernah bersifat murni individual, tetapi berupa proses sosial atau proses kolektif dalam kebudayaan. Hal ini termasuk pula simbol-simbol dalam peradaban manusia serta pemaknaannya juga bersifat kolektif.

Memori kolektif ini berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami, dirasakan, dan dilihat dalam kehidupan masyarakat.

Mengapa Memori kolektif ini penting? Menurut makalah yang tersaji berkat kerja sama PDII-LIPI dengan Komunitas Jelajah serta Kelompok Studi Kappa Sigma Kappa Indonesia itu, memori kolektif dianggap penting karena mewariskan nilai kehidupan.

Selain itu, memori kolektif juga dianggap penting karena perannya yang signifikan untuk mempertahankan keutuhan masyarakat.

Tentu saja memori kolektif berguna untuk melakukan perubahan sosial secara terkendali. Selain bermanfaat untuk menemukan, menentukan identitas masyarakat, etnik, dan bangsa.

Pada puncaknya memori kolektif sangat penting karena berfungsi sebagai acuan bersama seluruh warga dan simbol suatu peradaban.

Ternyata memori kolektif itu bisa bertahan terus hidup. Namun, bisa juga menyusut, bahkan hilang.

Ingatan kolektif mampu bertahan bila dianggap penting dan acuan pengingatnya relatif cukup banyak tersedia. Namun, ingatan kolektif juga bisa menyusut, bahkan hilang karena dianggap tidak penting lagi serta hanya dikenal di kawasan terbatas.



Memori Kolektif Bangsa

Maka, penting bagi siapa pun mengabadikan memori kolektif bangsa, salah satunya melalui pemberian toponimi (bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya).

Pengabadian memori kolektif bangsa juga bisa dilakukan lewat pendirian museum, tugu, dan monumen. Kemudian juga bisa lewat penyebaran koleksi pustaka dengan segala bentuknya, melalui arsip, dan melalui media massa. Hal ini tentu saja termasuk film dokumenter yang didiskusikan di Kantor Berita Antara dalam rangka peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia.

Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan penayangan film dokumenter bisa memperpanjang memori kolektif bangsa. Namun, sering kali "media pandang-dengar" penuh keberpihakan dan sarat nilai serta menjadi alat bagi penguasa untuk menampakkan dominasinya lewat hegemoni.

Hegemoni adalah salah satu bentuk penampakan supremasi kelompok sosial, selain bentuk lainnya, yakni dominasi (Antonio Gramsci, filsuf Italia 1891--1937).

Kalau istilah dominasi lebih pada penggunaan kekuatan fisik untuk menunjukkan supremasi, hegemoni adalah bentuk supremasi kelompok sosial yang mengunakan kekuatan intelektual dan moral yang dilakukan sesuai dengan konsensus bersama.

Cara ini dilakukan dengan halus dan berada pada tataran ideologis untuk mengendalikan dan menciptakan kesadaran umum, menggunakan kombinasi antara paksaan dan sukarela.

Maka, di sinilah masyarakat harus kritis melihat setiap bentuk hegemoni karena kadang kala penulisan, kajian, dan media massa menjadi alat kontrol kesadaran yang digunakan oleh kelompok penguasa. Semua pihak berharap masyarakat Indonesia makin dewasa karena limpahan informasi mengharuskan masyarakat lebih cerdas memilah dan memilih mana yang paling dibutuhkan.

Mungkin perlu mengutip tulisan pada sampul buku "70 Th HistoRI Masa Depan", terbitan Kantor Berita Antara (2015): "Kita tidak mungkin menarik mundur waktu. Maka, kepingan-kepingan imaji waktu berisi aneka peristiwa fondasi bangsa harus terus diselisik keberadaannya."

Pernyataan tadi seharusnya diimbangi dengan sejumlah kajian untuk membahas kepingan-kepingan imaji visual dari sisi akademis dan itu adalah tantangan yang harus terus diperjuangkan.


*) Alumnus Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) bekerja di Departemen Pusat Data & Riset, Kantor Berita Antara

Pewarta: Dyah Sulistyorini *)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015