Jakarta (ANTARA News) - Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menginstruksikan para atase ketenagakerjaan untuk mengoptimalkan tugasnya sebagai market intelligence di negara-negara penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

"Atase ketenagakerjaan di negara penempatan harus memainkan perannya dalam rangka perluasan kesempatan kerja di luar negeri khususnya sektor formal dengan memperkuat jejaring kerja atau networking," kata Menaker Hanif  dalam keterangan pers  di Jakarta pada Selasa (6/10).

Hal tersebut diungkapkan Menaker Hanif saat membuka acara Penguatan Jejaring Kelembagaan Penempatan yang mengambil tema "Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Fungsi Ketenagakerjaan Pada Perwakilan Republik Indonesia" yang digelar di Surabaya pada Selasa (6/10).

Menaker Hanif mengatakan salah satu peran atase ketenagakerjaan yang sangat penting adalah sebagai market intelligence, yaitu mencari demand khususnya pada sektor formal sebanyak-banyaknya sebagai salah satu solusi mengurangi masalah pengangguran di Indonesia.

"Kesempatan kerja bagi TKI terutama yang bekerja di sektor formal masih sangat terbuka. Oleh karena itu, para Atase Ketenagakerjaan harus membuka akses peluang kerja dan melakukan pemetaan kebutuhan pasar kerja di luar negeri," kata Hanif.

Saat ini, pemerintah Indonesia memiliki 13 perwakilan  atase tenaga kerja di negara-negara penempatan yaitu Hong Kong, Malaysia,  Singapura, Korea Selatan, Brunei Darussalam,  Arab Saudi (Riyadh dan Jeddah), Kuwait ,Qatar,Persatuan Emirat Arab (UEA),  Taiwan, Suriah, dan Yordania.

Atase ketenagakerjaan mempunyai tugas pelayanan tenaga kerja yang di antaranya perlindungan TKI, pendataan TKI di negara penempatan, pemantauan keberadaan TKI, penilaian terhadap mitra usaha atau agen dalam pengurusan dokumen TKI, upaya advokasi TKI, legalisasi perjanjian atau kontrakkerja serta pembinaan TKI yang telah ditempatkan.

Dalam kesempatan ini,  Menaker Hanif mengingatkan  para atase yang tengah mencari kesempatan kerja TKI formal agar menerapkan prinsip kehatian-hatian hati dan meningkatkan kewaspadaan atas kesempatan kerja yang ditawarkan.

"Akhir-akhir ini marak adanya modus job-job order untuk pekerjaan formal seperti cleaning service atau penjahit, namun kenyataannya sesampainya di negara penempatan mereka dipekerjakan di rumah tangga serta berpindah-pindah majikan," kata Hanif.

Oleh karena itu, kata Hanif,  prinsip kehati-hatian sangat diperlukan mengingat risiko yang akan dihadapi oleh TKI di tempat kerjanya. Hal seperti itu banyak terjadi khususnya di Timur Tengah sejak diberlakukannya moratorium di kawasan ini..

“Saya tidak akan segan untuk menindak siapapun yang dengan sengaja melakukan pelanggaran-pelanggaran yang mengorbankan keselamatan para TKI kita yang bekerja di luar negeri,” kata Hanif.

Permasalahan TKI di luar negeri sangat kompleks dan melibatkan berbagai elemen yang saling terkait. Di beberapa negara penempatan, kasus-kasus TKI timbul akibat lemahnya sistem hukum ketenagakerjaan di sana yang tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap TKI, serta membuka ruang bagi tindakan kesewenang-wenangan oleh majikan, agency, serta pihak-pihak terkait lainnya.
 
"Kunci dari penyelesaian permasalahan TKI di luar negeri adalah perbaikan regulasi, sistem dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI, law inforcement serta koordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) yang terkait dalam penanganan TKI," kata Hanif.

"Peran Atase Ketenagakerjaan sangat diperlukan untuk mengeliminasi permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan di Negara penempatan Sedangkan kompleksitas pada sisi hulu di dalam negeri, terus-menerus sedang kita benahi, salah satunya yaitu melalui amandemen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dan aturan-aturan turunannya," kata Hanif.

Sedangkan terkait Isu migrasi sudah menjadi isu global. Peran atase ketenagakerjaan sangat diperlukan melalui peningkatan aktivitas kinerja agar lebih kredibel menangani masalah-masalah migrasi atau movement on natural person (MNP) tidak hanya dalam penanganan penempatan dan perlindungan TKI.

Mengingat peran dan fungsi Atase Ketenagakerjaan yang sangat kompleks, maka dibutuhkan koordinasi dan sinergitas dengan fungsi-fungsi lain yang ada di Perwakilan RI termasuk memperkuat jejaring kerja atau networking yang baik khususnya di bidang ketenagakerjaan dengan aparat ketenagakerjaan di negara penempatan.

“Koordinasi dengan fungsi konsuler dibutuhkan manakala terjadipermasalahan TKI terkait isu non labour case seperti masalah-masalah kriminal/pidana,” kata Hanif.

Atase ketenagakerjaan juga harus memiliki pengetahuan atau pemahaman tidak hanya terbatas pada hal-hal yang terkait dengan permasalahan TKI, namun juga dengan ketenagakerjaan secara umum seperti pelatihan, hubungan industrial, dan labour inspection, yang secara umum kesemuanya itu saling terkait dalam upaya pembenahan perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015