Jakarta (ANTARA News) - Kegagalan kesepakatan iklim di Copenhagen enam tahun lalu menjadi pelajaran berharga yang tidak ingin diulang oleh semua pihak dalam Conference of Parties (COP) 21 Paris.

Sama dengan apa yang ingin dicapai di Prancis pada tahun 2015, Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) sebenarnya juga ingin menghasilkan kesepakatan yang mengikat (legally binding) untuk menuju bumi dengan nol emisi di COP 15 (2009).

Bagi sebagian kalangan, terutama para ilmuwan yang mempercayai bahaya besar di balik dampak perubahan iklim pada masa depan bagi kehidupan bumi, kegagalan tersebut berarti kesia-siaan waktu.

Pada tahun 2011, dalam COP 17 di Durban, Afrika Selatan, kebulatan tekad untuk mencapai kesepakatan mengikat menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) guna menahan peningkatan suhu bumi hingga 2 derajat Celsius mulai ditanam kembali. Terbentuknya Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action menjadi bentuk keseriusan menuju terciptanya kesepakatan mengikat di Paris Agreement.

Menurut Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, Menteri Luar Negeri Prancis yang juga Presiden COP 21 Laurent Fabius merupakan tokoh penting di balik kesuksesan gelaran akbar pengendalian perubahan iklim di Prancis.

Rachmat mengatakan bahwsa pascapelaksanaan COP 20 di Lima, Peru, yang menghasilkan Lima Call for Global Climate Action, sosok yang pernah menjadi Perdana Menteri Prancis pada usia 37 tahun tersebut langsung "bergerilya" mendatangi negara-negara para pihak, kalangan ilmuwan, pihak swasta, industri, organisasi masyarakat, kalangan keagamaan untuk mencari tahu apa yang dikehendaki agar kesepakatan di Paris dapat tercapai.

"Prancis mengadakan persiapan yang cukup panjang dan melibatkan banyak pihak. Keberhasilan COP 21 tidak bisa dipisahkan dengan persiapan-persiapan tersebut," katanya.

Tidak kurang dari satu kali pertemuan para kepala negara dan tujuh kali pertemuan tingkat menteri berhasil dilaksanakan prapelaksanaan hingga COP 21 digelar pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015.

Saat negosiasi tersendat pada minggu pertama pelaksanaan konferensi, Rachmat mengatakan bahwa Presiden COP 21 yang sejak awal telah mengakomodasi semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, kelompok sosial dan organisasi masyarakat, industri, masyarakat umum, pers dalam satu lokasi di The Paris Le Bourget berulang-ulang mengajak semua untuk berbicara apa yang dikendaki agar kesepakatan dapat tercapai.

"Bagaimana CBDR atau Common But Differentiated Responsibility itu bisa diwujudkan? Di Paris itu semua dilakukan, semua diatasi," katanya.

Para ahli di World Resources Institute (WRI) mengintisarikan hasil dari Paris Agreement yang bagi sebagian pihak masih dianggap belum memenuhi Keadilan Iklim (Climate Justice). Terdapat empat elemen yang menunjukkan bahwa Paris Agreement merupakan sebuah awal dari era baru aksi dunia internasional untuk perubahan iklim.

Pertama, paling tidak, Paris Agreement telah menetapkan arah yang jelas untuk upaya penurunan emisi masa depan. Kedua, kesepakatan ini sangat mengakui bahwa risiko dari dampak perubahan iklim benar-benar ada, yang artinya adaptasi juga diperhatikan tidak hanya mitigasi.

Ketiga, menggeser pendanaan menuju rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan, yang artinya institusi pendanaan internasional harus memperhitungkan risiko iklim dalam setiap rencana bisnis mereka.

Keempat, kesepakatan dibangun di atas fondasi yang kuat. Kesepakatan ini akan mempercepat upaya kota, perusahaan, dan pemangku kepentingan lain di seluruh dunia bergerak mendukung Paris Agreement secara cerdas dari sisi ekonomi, politik, dan sosial.

Implementasi Paris Agreement
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah meyampaikan apresiasi atas kerja keras Presiden COP 21 dan sekretariat hingga tercapainya kesepakatan. Menurut dia, Paris Agreement penting meski tidak sempurna dalam mengakomodasi semua kepentingan negara para pihak.

Adopsi Paris Agreement oleh 195 negara, dia mengatakan merupakan peristiwa bersejarah karena menjadi kesempatan untuk melakukan perubahan dunia. Indonesia melihat pentingnya kesepakatan ini dan harus dirasakan sebagai kepemilikan bersama karena ini merupakan kebutuhan semua manusia yang melintasi batas-batas negara dalam mengatasi atas konsekuensi perubahan iklim bagi kehidupan.

Jika organisasi lingkungan hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris tidak memberi jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan melihat kesepakatan tersebut hanya memberi keuntungan bagi negara kaya tetapi tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan masyarakat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih senang mengambil sikap untuk segera mengimplementasikan hasil kesepakatan dengan segera menginternalisasikannya ke dalam kebijakan nasional dan daerah.

"Tema-tema utama yang muncul terkait dengan perubahan iklim di sana (COP 21) yang pertama adalah soal energi, renewable energy, bagaimana mitigasinya, dan ini banyak relevansinya dengan kita. Kita sebenarnya sudah mulai juga, target kita di (penggunaan) energi baru terbarukan 23 persen pada tahun 2025 dan sekarang baru 15 persen, diharapkan pada tahun 2016 sudah 20 persen," katanya.

Indonesia, lanjut dia, telah berjalan selangkah di depan dari Paris Agreement dengan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari fosil untuk pembangunan infrastruktur di sektor pangan, kemaritiman dan kelautan, ketahanan energi, dan pariwisata. Selain itu, akses perizinan yang mudah untuk industri yang mengembangkan energi baru terbarukan.

Efisiensi penggunaan energi terus didorong dan hal ini berkaitan juga dengan bidang transportasi. "Ini sudah harus didorong peralihan dari mobil pribadi ke transportasi massal. Kita sudah bicarakan juga untuk menaikkan standar emisi gas buang kendaraan dari Euro2 ke Euro4," kata Siti.

Ia menegaskan bahwa konsolidasi harus mulai dilakukan lintas sektoral untuk implementasi Paris Agreement dan mencapai penurunan emisi GRK sebesar 29 persen hingga 41 persen dalam kurun waktu 10 tahun, 2020--2030, sesuai yang telah ditetapkan dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) Indonesia.

"Kementerian Pertanian meminta lahan seluas 2.000.000 hektare untuk pengembangan pangan dari sektor pertanian dan peternakan, rencananya 350.000 hektare untuk perternakan sapi. Lalu, kotoran sapinya bagaimana? Emisi non-CO2-nya (karbon dioksida) seperti CH4 (metan) bagaimana? Tentu harus juga sudah dipikirkan sejak awal bagaimana mengelola dan mitigasinya," kata Siti.

Terkait dengan "land use and forestry", lanjut dia, hal yang benar-benar harus didorong adalah "forest management".

Blue carbon, kata dia, merupakan sesuatu yang baru yang menyeruak di konferensi perubahan iklim kali ini. Indonesia akan menjaga dan memelihara mangrove dan padang lamun dengan membangun perekonomian pesisir dengan konsep yang tepat sehingga mempunyai ketahanan adaptasi iklim yang kuat.

Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan (litbang) Badan Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan setiap hektare mangrove dapat menyerap 38,8 ton karbon per tahun. Jumlah tersebut akan makin bertambah besar jika digabungkan dengan kemampuan padang lamun yang dapat menyerap karbon sekitar 4,88 ton per hektare per tahun.

Dari hasil litbang tersebut juga diketahui bahwa Indonesia memiliki luas hutan mangrove mencapai 3,8 juta hektare sehingga diperkirakan mampu menyimpan karbon hingga 147,44 juta ton per tahun, sedangkan seluruh padang lamun Indonesia mampu menyimpan sekitar 16,11 juta ton karbon per tahun.

Untuk segera dapat mengimplementasikan Paris Agreement, Siti mengatakan bahwa pihaknya akan segera merekonstruksi Dewan Pengarah Perubahan Iklim yang semula bekerja membuat program kini harus melakukan pekerjaan operasional.

"Kemungkinan kita harus review RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca). Kemudian, kita harus melakukan penghitungan detail dari INDC karena kemarin masih intended, tetapi sekarang sudah menjadi Nationally Determined Contributions (NDCs). Oleh karena itu, harus detail," katanya.

Transparansi kebijakan pemerintahan negara para pihak untuk menurunkan emisi GRK menjadi salah satu kesepakatan di Paris. Selain itu, dia mengatakan bahwa transparansi metode Measurement, Reporting, Verification (MRV) emisi GRK juga menjadi keharusan. Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan COP 22 di Marrakesh, Maroko, Indonesia harus sudah memiliki MRV.

"Metode yang ada sekarang kan banyak. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya INCAS, ilmuwan yang lain punya metode lain, kita harus akomodasi semuanya untuk bisa dapat MRV yang tepat, tidak perlu saling menyudutkan," katanya.

Pada akhirnya, Siti mengatakan bahwa apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan, dana apa yang harus disiapkan untuk mengurangi emisi GRK Indonesia dan global, menyiapkan pembangunan berkelanjutan dengan nol emisi, menekan suhu tidak meningkat 2 derajat Celsius harus dipikirkan dan dikerjakan bersama oleh semua elemen bangsa.

Indonesia juga tidak menutup pintu untuk mencapai target penurunan emisi GRK 29 persen pasca-2020 karena berbagai kerja sama dengan negara lain akan dilakukan. Kerja sama untuk urusan blue carbon akan dilakukan dengan Australia, persoalan gambut akan diselesaikan bersama Finlandia, Norwegia, dan Swedia, sedangkan persoalan hutan akan dilakukan bersama Jerman, Inggris, dan Norwegia.

Oleh Virna P Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015