Mari kita cari cara untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja dengan cara yang memastikan pria dan wanita diperlakukan dengan terhormat, kompensasi yang sesuai dengan kerja keras dan risiko pekerjaan yang mereka lakukan ..."
Bangkok (ANTARA News) - Kelompok terakhir yang terdiri atas 24 budak kapal nelayan bersiap untuk dipulangkan dari Indonesia ke kampung halamannya di Myanmar pekan ini, kata relawan dalam pertemuan tentang perdagangan manusia di Bali.

Mereka merupakan bagian dari 1.200 budak yang dipulangkan sejak tahun lalu sebagai puncak dari gunung es kasus itu, lapor Thomson Reuter Foundation.

Ratusan pendatang yang mencari pekerjaan telah dieksploitasi atau diperbudak di atas kapal nelayan di perairan laut Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir, penderitaan mereka mencuat di sejumlah media dan laporan lainnya.

Laporan-laporan tersebut, dan perubahan kebijakan pemerintah Indonesia pada 2014, membawa persoalan itu mengemuka, termasuk adanya fakta banyaknya nelayan diperdagangkan dan diperbudak yang telantar di Indonesia.

Sekitar 24 warga negara Myanmar yang berharap pergi pada Kamis sudah tidak dapat berbicara dengan anggota keluarganya sejak meninggalkan Myanmar untuk mencari pekerjaan dalam satu dasawarsa yang lalu dan hanya tertipu selama bertahun-tahun penuh kekejaman, bekerja di kapal ikan tanpa upah.

"Kedatangan para pria tersebut akan mengantarkan pada akhir satu babak sejarah tragis ini," kata Kepala Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia Mark Getchell dalam konferensi keenam tingkat menteri Bali Process terkait penyelundupan dan perdagangan manusia.

"Namun semua bukti menunjukkan bahwa hal ini puncak dari gunung es dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan di seluruh kawasan agar lebih baik dalam melindungi hak-hak pekerja migran dan memastikan tidak ada pengulangan pelanggaran seperti yang mereka alami selama bertahun-tahun," ujarnya.

Asia Tenggara, salah satu sumber daya hasil laut terbesar di dunia, bekerja keras untuk mengendalikan pencarian ikan secara "ilegal, tanpa laporan, dan tak terkontrol".

Akhir 2014 Indonesia mengeluarkan satu moratorium kapal asing mencari ikan di lepas pantai wilayah itu sehingga memaksa sejumlah pelabuhan dan menyebabkan ratusan orang terperangkap di Pelabuhan Ambon serta meledakaan sejumlah kapal yang mencari ikan secara tidak sah di perairan wilayah Indonesia.

Secara terpisah, laporan media menggambarkan ratusan budak nelayan dibiarkan terkatung-katung, dimakamkan di kuburan tak dikenal atau terdampar di Benjina, salah satu pulau di Indonesia timur.

IOM, atas permintaan Indonesia dan dukungan dari Australia, mengidentifikasi, membantu, dan memulangkan lebih dari 1.200 korban perdagangan manusia dari Ambon dan Benjina, demikian pernyataan IOM.

Sebagian besar pria tersebut berasal dari Myanmar, sebagian lagi dari Kamboja dan Thailand.

IOM memperkirakan penambahan 800 orang asing dipulangkan oleh perusahaan perikanan dan melalui cara-cara lain yang juga dilakukan oleh korban perdagangan manusia.

"Tidak ada upaya yang harus dihindari untuk mengejar perusahan-perusahan yang terlibat dan menuntut mereka membayar kompensasi semua orang yang kehilangan masa hidupnya untuk para pedagang manusia yang semata-mata demi meningkatkan margin keuntungan perusahaan mereka," kata Getchell.

IOM, mengakui kebutuhan tenaga kerja di kapal-kapal pencari ikan, meminta negara-negara di kawasan bersama-sama mengatasi persoalan tersebut di forum seperti Bali Process, kata juru bicara IOM di Indonesia, Paul Dillon.

"Mari kita cari cara untuk mengatasi kebutuhan tenaga kerja dengan cara yang memastikan pria dan wanita diperlakukan dengan terhormat, kompensasi yang sesuai dengan kerja keras dan risiko pekerjaan yang mereka lakukan serta menciptakan sistem sehingga konsumen bisa membeli produk perikanan yang aman dalam pengetahuan masyarakat mengenai tidak adanya perbudakan," kata Dillon.
(Uu.M038/M016)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016