Apa pantas korban ditanyai apa yang dirasakan korban saat diperkosa pelaku. Benar-benar tidak manusiawi."
Kupang (ANTARA News) - Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur Veronika Seuk Ata, SH.MH menyayangkan vons PN Oelamasi membebaskan terdakwa perkara perkosaan, KW (Kirenius Weo) atau Bai KT (Kadja Tobo) (52), warga Kabupaten Kupang.

"Sangat disayangkan memang. Karena ditengah arus kekerasan seksual semakin marak menimpa perempuan dan anak di Indonesia, termasuk yang ada di Nusa Tengara Timur, justru ada oknum hakim di pengadilan negeri Oelamasi membebaskan terdakwa pemerkosa anak dibawah umur," katanya di Kupang, Selasa.

Menurut dia, pembebasan terhadap oknum pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan menunjukkan ketidakberpihakan aparat penegak hukum di tingkat pengadilan terhadap kampaye memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual termasuk adanya hukuman tambahan berupa kebiri kelamin pelaku dan lainnya.

Dia menyebut ketika semua orang sementara menyoroti tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak, hingga mengerucut pada perberat hukuman dari 15 tahun menjadi 20 tahun atau hukuman seumur hidup serta hukum tambahan kebiri dan hukuman sosial kepada masyarakat berupa mengumumkan nama dan identitas pelaku ke tengah publik, ternyata ada yang menarik di Kupang.

Misalnya pemerkosa dalam perkara perkosaan, KW (Kirenius Weo) atau Bai KT (Kadja Tobo) (52), warga Kabupaten Kupang yang dibebaskan oleh para majelis hakim.

Keluarga sangat menyesalkan vonis itu sehingga akan mengajukan kasasi bahkan akan melaporkan majelis hakimnya ke Komisi Yudicial (KY).

Ketiga majelis hakim itu adalah Eka Ratna Widyastuti, SH, MH dan hakim anggota ASM Purba, SH, M.Hum dan Abraham Amrullah, SH, MH.

Hermin Y Boelan, SH, pengacara korban dari LBH APIK NTT, menjelaskan, perkara itu terjadi sejak tahun 2014 dan nyaris tidak diproses karena mendekam di Polres Kupang hampir setahun. Setelah korban menghubungi LBH APIK NTT September 2015, barulah perkara diproses kembali dan disidangkan di Pengadilan.

"Namun, majelis hakim memvonis bebas terdakwa. Padahal barang bukti dan alat bukti jaksa sudah lengkap. Di tingkat penyidikan polisi tahun 2014, terdakwa mengakui perbuatannya. Tapi saat diperiksa tahun 2015 di polisi dan di persidangan tahun 2016, terdakwa menyangkal. Bahkan terdakwa mengaku tidak bisa Bahasa Indonesia," kata Hermin.

Hermin memastikan, pihaknya akan melaporkan keputusan majelis hakim itu ke Komisi Yudisial Wilayah NTT.

Ia melihat ada sejumlah kejanggalan alat bukti yang diajukan ke persidangan oleh pihak terdakwa. Seperti, presensi korban yang diajukan pihak terdakwa di persidangan itu diduga dipalsukan.

Juga pengakuan terdakwa bahwa dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun hal itu seakan tidak menjadi pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis.

Bahkan, tambah Hermin, dalam persidangan ada pertanyaan yang ditujukan kepada korban yang masih berusia tujuh tahun itu sangat tidak responsif dan cenderung memojokkan. "Apa pantas korban ditanyai apa yang dirasakan korban saat diperkosa pelaku. Benar-benar tidak manusiawi," kesal Hermin.

YWN dan HW, ibu dan ayah korban AFI alias OW (7), mengaku, sangat sedih dan kecewa mendengar pertanyaan hakim dan pengacara terhadap anaknya, AFI alias OW.

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016