Ulan Bator, Mongolia (ANTARA News) - Mongolia akan memilih sebuah parlemen baru pada minggu ini, berharap untuk dapat membalikkan lambatnya pertumbuhan yang berjalan empat tahun berturut-turut.

Kegiatan itu dilaksanakan dengan adanya latar belakang kekhawatiran terkait terkikisnya nilai-nilai demokrasi di sebuah negara yang diapit oleh China dan Rusia yang otokratis.

Dengan jumlah penduduk yang hanya sebanyak tiga juta jiwa, wilayah terpencil itu, yang dikenal luas sebagai tempat lahir kaisar Mongol, Genghis Khan, berdiri sebagai sebuah oase demokrasi, yang dikelilingi oleh rezim-rezim yang didominasi oleh partai tunggal.

Perubahan politik Mongolia sejak adanya revolusi damai 1990 lalu telah menjadi sebuah nilai tambah yang besar bagi para investor asing yang menyasar sumber daya mineral negara itu yang kaya.

Namun adanya pelambatan ekonomi sejak 2012 lalu telah menyebabkan kontroversi aras peran sejumlah perusahaan pertambangan internasional seperti Rio Tinto, yang pada bulan lalu menyepakati sebuah rencana perluasan tambang tembaga Oyu Tolgoi senilai 5,3 miliar dolar Amerika, yang menyelesaikan perselisihan dengan pemerintah selama satu tahun.

Melambatnya pertambangan itu masih diperkirakan akan berpengaruh terhadap jumlah kursi Partai Demokrat dalam pemilihan Rabu mendatang, menurut jajak pendapat yang ada.

"Partai Demokrat bersalah 100 persen atas runtuhnya perekonomian. Kehidupan para penduduk telah memburuk begitu besarnya," ujar Darjaa Sovood, yang memimpin sebuah aksi demonstrasi kecil terhadap Partai Demokrat di depan kantor parlemen Mongolia pada Minggu.

Negara yang kaya akan sumber daya itu, yang juga dikenal dengan nama "Mine-holia" (mine = tambang) pada tahun-tahun dimana mereka mengalami peningkatan, berjuang untuk berapdatasi dengan perubahan lingkungan dimana China mengurangi keinginan mereka akan batu bara dan tembaga dan tidak lagi memandang tinggi sejumlah komoditas.

Pertumbuhan ekonom telah menurun dari 17,5 persen pada 2011, tahun sebelum Partai Demokrat menjabat, menjadi 0,4 persen yang diperlihatkan oleh IMF pada tahun ini.

Partai kecil terpinggirkan

Sementara kepresidenan tidak mendapatkan ancaman dalam pemilihan umum Rabu, seorang demonstran, Sovood, menyalahkan Presiden Tsakhia Elbegdorj dari Partai Demokrat karena menyesarkan para pemilih.

Partai Demokrat telah berjanji akan membagi keuntungan dari peningkatan sumber daya negara untuk meningkatkan taraf hidup, namun para investor mundur dan perekonomian menjadi tidak baik.

"Setelah Elbegdorj terpilih, dia tidak memenuhi janjinya. Yang dia lakukan itu benar-benar berbalik dari apa yang dia janjikan," Sovood mengatakan.

Elbegdorj, yang juga menjabat sebagai perdana menteri pada 1998 dan dari 2004 hingga 2006, diperkirakan akan mundur dari perpolitikan saat masa jabatan akhirnya berakhir pada tahun depan. Masih belum ada informasi terkait Perdana Menteri saat ini, Chimed Saikhanbileg yang ingin maju sebagai presiden.

Apakah pihak oposisi, Partai Rakyat Mongolia (MPP) dapat mengambil keuntungan itu masih belum jelas, namun menyusul sebuah perubahan mendasar yang ada belakangan ini terhadapt karakteristik demokrasi mongolia, pemilihan umum itu tampak hanya sebagai persaingan antara dua orang.

Pada 5 Mei lalu, parlemen mengamandemen undang-undang pemilihan umum untuk menyingkirkan sebuah pasal yang pertama kali diberlakukan pada 2012 tentang 28 dari 76 kursi legislatif yang telah dialokasikan, yang disebut sebagai Grand Khural, menurut jatah suara tiap partai dalam pemilu.

Dambadarjaa Jargal, seorang ekonomis dan pembawa acara televisi, mengatakan bahwa para kandidat dari partai yang lebih kecil terpinggitkan, terutama saat kegiatan kampanye hanya diperbolehkan untuk dimulai 18 hari sebelum pemilihan umum menerut ketentuan yang berlaku.

"Sulit bagi mereka untuk diketahui. Televisi sangatlah diatur dan anda tidak dapat berbicara dengan seorang kandidat selama lebih dari 15 menit," dia mengatakan kepada wartawan Reuters.

(Uu.Ian/KR-MBR/M016)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016