Medan (ANTARA News) - Kalangan pemuda khususnya pelajar,dianggap sangat rentan terhadap serangan pola pikir dan penyebaran paham radikal terorisme.

Hal itu dikatakan Direktur Deradikalisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof Dr Irfan Idris, pada ceramah Seminar Nasional Forum Koordinasi dan Sinkronisasai Desk Pemantapan Wawasan Kebangsaan di kampus Universitas Negeri Medan, Selasa.

Menurut dia, berdasarkan data dari hasil riset terhadap 110 pelaku tindakan terorisme bertema Research on Motivation and Root Causes of Terrorism oleh The Indonesian Research Team, 2012, Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Detasemen Khusus 88 Kepolisian Indonesia.

Data itu menunjukkan, 4,3 persen pelaku terorisme adalah mereka yang masih muda belia dengan usia rata-rata 21-30 tahun. Hasil yang lebih mengejutkan, dari tingkat jenjang pendidikan umumnya pelaku terorisme adalah kalangan muda dan pendidikan SMA (63,6 persen).

Pada 2011, Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dengan responden guru PAI dan siswa SMP Sejabotabek menunjukkan potensi radikal yang kuat di kalangan guru dan pelajar.

Dengan indikasi resistensi yang lemah terhadap kekerasan atas nama agama, intoleransi, sikap ekslusif serta keraguan ideologi Pancasila.

Penelitian pada 2015 oleh Setara Institute yang mengambil SMU di Jakarta dan Bandung, ketika ditanya mengenai ISIS sebanyak 36,2 persen responden mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis.

Kemudian, 30, 2 persen responden menilai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 16,9 persen responden menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam.

"Apa yang menyebabkan lingkungan sekolah menjadi sangat rentan dari pengaruh paham radikal dan kekerasan karena sekolah merupakan lingkungan yang berbagai sektor mudah dipengaruh," ucapnya.

Irfan mengatakan, pengaruh dari pengetahuan guru keagamaan yang dangkal sangat berpengaruh terhadap pemahaman peserta didik.Unit-unit kajian keagamaan yang berkembang di sekolah sebagai kegiatan ekstrakurikuler (dawrah, mabit, halawah, dan lain-lain) mudah sekali disusupi karena minimnya kontrol dari pihak sekolah.

Pihalk sekolah, bahkan dinas pendidikan kadang-kadang kecolongan dengan peredaran buku-buku rujukan keagamaandi di sekolah yang memuat ajaran kekerasan seperti yang baru-baru ini terjadi di Jawa Timur.

"Faktor lain adalah lingkungan pertemenan di luar sekolah dan proses belajar keagamaan otodidak melalui media offline terutama online," kata dia. 

Pewarta: Munawar Mandailing
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016