Jakarta (ANTARA News) - Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menyatakan bahwa secara umum fenomena supermoon bukan pemicu bencana seperti yang dikhawatirkan sejumlah orang.

"Pasang maksimum selalu terjadi saat purnama karena pasang akibat bulan diperkuat oleh pasang oleh matahari. Dalam kondisi supermoon pasang agak meningkat. Namun, dalam kondisi normal, tidak perlu ada yang diwaspadai. Secara umum supermoon bukan pemicu bencana," kata dia saat dihubungi ANTARA News lewat telepon, Senin.

Meski demikian, Thomas menjelaskan, kalau pasang terjadi bersamaan dengan cuaca buruk maka masyarakat yang tinggal di pesisir mesti waspada.

"Potensi banjir rob yang melimpah ke daratan bisa terjadi di pantai. Bila terjadi hujan dan banjir di daratan, tentu saja air tidak bisa segera terbuang ke laut yang sedang pasang maksimum," kata dia.

Fenomena supermoon yang terjadi hari ini dan besok, 15 November, bisa mulai diamati sejak bulan terbit di ufuk timur (sekitar pukul 17.39 WIB) hingga magrib sampai terbenam di ufuk Barat.

Saat itu, bulan purnama akan muncul pada ukuran terbesar dan paling terang sejak Januari 1948. Ini terjadi karena bulan mengorbit Bumi dalam lintasan orbit berbentuk elips, sehingga terkadang posisinya lebih dekat dengan planet kita dibandingkan pada waktu lain.

Astronom menyebut posisi terdekat bulan dengan Bumi ini sebagai tahap perigee. Jarak rata-rata Bumi dan bulan sekitar 384.400 kilometer.

Jarak bulan dan Bumi dalam fenomena supermoon diperkirakan sekitar 356.500 kilometer. Pada tahap ini bulan muncul sekitar 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang dari suatu bulan purnama tahap perigee.

Dikenal sebagai "Beaver Moon" atau "Frost Moon",  supermoon akan menimbulkan pasang yang lebih tinggi dari normal.


Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016