Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengagendakan untuk membuka pendaftaran bagi akun media sosial yang dijadikan piranti bagi kontestan dan tim sukses pada pilkada serentak.

Ide dasar pendaftaran akun resmi para kontestan dan tim sukses itu antara lain untuk mempermudah mengawasi isi kampanye para kontestan dan tim sukses. Dengan demikian, isi kampanye hitam dan negatif yang berisi hujatan, fitnah dan wicara bermuatan kebencian bisa diminimalisasi atau dieliminasi.

Publik pun bisa mendapat gambaran tentang profil dan watak ideologis kontestan dalam pilkada serentak yang terurai dalam kampanye yang disampaikan lewat akun media sosial resmi yang didaftarkan ke KPU tersebut.

Tentu kanalisasi media sosial sebagai alat kampanye yang resmi yang didaftarkan ke lembaga penyelenggara pemilihan umum dan pilkada itu tak menutup kemungkinan masih beredarnya kampanye hitam dan negatif yang dilakukan terutama oleh para pendukung kontestan.

Dunia maya sebagai rimba belantara ekspresi sosial akan tetap digunakan oleh mereka yang tak bertanggung jawab untuk mengutarakan uneg-uneg mereka yang kecewa, berwawasan sempit dan emosional dalam menyikapi masalah keseharian maupun masalah politik.

Dalam kondisi demikian, agaknya tak terelakkan bagi siapapun, penyelenggara pemilu atau pilkada, penegak hukum, maupun pemangku kepentingan pemilu dan pilkada lainnya untuk senantiasa siap menjumpai suara-suara bernada fitnah, kampanye bermuatan kebencian.

Apalagi di dunia maya, di kanal media sosial, siapapun bisa membuat akun dengan nama palsu, alamat palsu dan ciri palsu lainnya. Watak media sosial yang interaktif juga sering digunakan untuk medium berkomentar yang bernada caci maki yang tak mencermikan keluhuran budi seorang individu.

Bagaimana menyikapi fenomena rimba maya yang warna-warni ini? Salah satunya adalah menyiapkan individu-individu untuk bertindak penuh tanggung jawab dan sarana yang diperlukan dalam hal ini adalah membuka forum-forum sosial bagi pendidikan melek media.

Lewat pendidikan melek media inilah seseorang dapat memilih dan memilah akun-akun mana yang layak dibaca dan dijadikan panduan dalam memilih calon pemimpin politik atau publik.

Publik di Tanah Air agaknya berada dalam situasi dilematis ketika kanal berekspresi terbuka lebar di saat mereka belum matang dalam mempertimbangkan etika dalam komunikasi.

Mengungkapkan rasa kebencian individual untuk urusan sosial politik sesungguhnya sudah di luar takaran yang proposional. Ketaksetujuan terhadap ideologi seorang pemimpin mestinya diungkapkan dalam kerangka kritik sosial politik yang tak mengandung diksi-diksi yang bermuatan emosi individual.

Di sinilah para kontestan, anggota tim sukses dan pendukung dalam konteks pertarungan perebutan kursi kekuasaan di pilkada sedang diuji kematangannya.

Caci maki dalam debat politik memang bukan mustahil dilakukan, setidaknya hal seperti itu juga pernah dilakukan oleh sejumlah tokoh yang berbicara dalam tayang bincang di stasiun televisi, namun hanya mereka yang dewasa, matang dan berwawasan kenegaraan yang sanggup mengendalikan diri untuk tidak mengumbar emosi dan menyemprotkan caci-maki yang kekanak-kanakan.

Barangkali untuk mengurangi konten kampanye negatif dan hitam, KPU perlu membuat aturan tambahan dalam kampanye lewat akun media sosial yang terdaftar resmi. Aturan itu misalnya dalam bentuk pembatasan rasio isi kampanye, yakni 90 persen berisi kampanye tentang diri kontestan dan 10 persen tentang lawan kontestan.

Aturan tambahan seperti ini bisa mengurangi kadar kampanye yang bermuatan fitnah. Setidaknya dengan aturan seperti ini, kontestan dan tim sukses serta pendukung lebih banyak didorong untuk menjual diri, memamerkan kelebihan diri, membuktikan rekam jejak dan prestasi diri dan hanya berbicara sedikit tentang sosok lawan politik.

Aturan itu sebenarnya analog dengan prinsip yang dianut dalam dialog antarumat beragama. Dalam prinsip ini, sang pembicara lebih banyak didorong untuk berbicara tentang kebaikan sistem keimanan dirinya dalam bingkai menghargai keimanan orang lain. Sang pembicara dibatasi bahkan ditutup kemungkinannya untuk berbicara tentang iman orang lain, kecuali yang positif tentunya.

Adanya aturan tambahan itu mungkin saja akan membuat isi atau konten kampanye di media sosial yang didaftarkan secara resmi ke KPU menjadi hambar, tak menarik pemilih untuk membacanya atau mengunjunginya. Tentu kekhawatiran ini bisa ditepis dengan argumen bahwa semua itu tergantung kepiawaian penyaji isi kampanye.

Jika isi kampanye itu disajikan dalam bentuk multimedia, kombinasi gambar, kata dan video yang menarik, hasil olahan penulis beken, disainer grafis jempolan dan sineas unggul, niscaya konten kampanye itu banyak pengunjungnya.

Apalagi jika kontestan dan tim sukses itu bisa merekut para pesohor sebagai pengail suara yang simpatik yang membuat pemilih juga bersimpatik pada sang kontestan.

Masih banyak sisi-sisi teknologi multimedia yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh mereka yang berkecimpung di ranah pemasaran kandidat pemimpin politik. Pembentukan citra seorang kontestan dalam pemilihan umum lewat televisi sudah cukup lama dilakukan, dengan memoles sang kandidat sedemikian rupa sebelum tampil di televisi.

Namun, di era digital yang merangkul medium berbasis kata, gambar dan video, cara-cara yang dilakukan untuk membentuk citra kontestan dalam persiangan politik sebagaimana dilakukan untuk medium televisi agaknya perlu pengayaan, dari segi format maupun konten.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016