Jakarta (ANTARA News) - Partai Gerindra menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan tahun 2017 karena tidak sesuai dengan prinsip pelestarian hutan, perlindungan lingkungan hidup, dan kesejahteraan rakyat.

"Partai Gerindra selalu berusaha memperhatikan prinsip-prinsip yang sesuai dan benar bagi masa depan bangsa Indonesia di mana kami merasa RUU Perkelapasawitan ini akan justru merugikan rakyat dan bangsa Indonesia di masa mendatang," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, dalam keteranga tertulisnya, di Jakarta, Selasa.

RUU Perkelapasawitan yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, lanjut dia, justru memberikan lebih banyak kesempatan dan keringanan kepada perusahaan perkebunan dan bukan petani (pekebun) kelapa sawit.

"Insentif dan keringanan yang diberikan kepada perusahaan perkebunan terlihat jelas pada pasal 18 RUU tersebut," ujarnya.

Hashim berharap RUU Perkelapasawitan jangan sampai dijadikan alat atau memberi celah perusahaan-perusahaan untuk dapat beroperasi di areal gambut (pasal 23) yang bertentangan dengan upaya negara untuk melindungi ekosistem gambut seperti ditegaskan pada PP No 57 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

PP Perlindungan gambut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu.

"RUU Perkelapasawitan hanya akan membuat target Pemerintah Indonesia memulihkan 2.4 juta hektare lahan gambut menjadi sulit tercapai," tutur Hashim.

Tidak boleh ada lagi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan Moratorium Lahan Gambut PP 57/2016 menegaskan bahwa tidak boleh lagi saat ini membuka lahan baru ataupun memberikan izin pada lahan gambut terutama lahan gambut dalam.

Kelapa sawit bukanlah tanaman asli gambut sehingga tidak sesuai dengan ekosistem gambut dan dapat mempertinggi resiko kebakaran dan kekeringan pada serta di sekitar lahan gambut tersebut, ucap Hashim.

Ketua Baleg DPR, Supratman, menyatakan bahwa apabila ingin memperjelas pengaturan perkelapasawitan seharusnya dimulai dari UU Perkebunan yang dari sisi perizinannya tidak berbeda dengan RUU Perkelapasawitan dan aspek perencanannya justru lebih komprehensif.

"Ada beberapa hal tidak disertakan secara jelas pada RUU Perkelapasawitan selain pasal terkait insentif dan lahan gambut yang perlu dikaji ulang seperti hak ulayat dan kejahatan koperasi, beneficiary ownership, kepemilikan nomor pokok wajib pajak, ketaatan pembayaran pajak dan penerimaan negara bukan pajak serta detail sanksi pidana sehingga perlu dihentikan pembahasannya dan dikaji ulang," jelas Supratman.

Selain itu, saat ini perkebunan kelapa sawit berkisar sebesar 11,4 juta hektare persegi (BPS, 2015) dan Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha serta konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25 persen); sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05 persen); dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2 persen).

"Apabila RUU ini disahkan maka akan melegalkan perkebunan ilegal yang belum diselesaikan masalahnya," katanya.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017