Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 terdiri atas empat ruangan, yaitu ruang pertemuan, ruang perumusan, ruang pengetikan dan ruang pengesahan.

Ruang pertemuan adalah ruang depan dekat serambi rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda yang digunakan perwira Angkatan Laut Jepang itu untuk menerima Soekarno, Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo yang baru saja kembali dari Rengasdengklok.

Di ruangan itu saat ini terdapat sebuah meja bundar yang dikelilingi empat kursi. Tidak ada diorama sama sekali yang menggambarkan situasi saat itu.

Ruang perumusan adalah ruangan tempat perumusan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, ruangan itu merupakan ruang makan Maeda.

Di ruangan tersebut terdapat sebuah meja bundar panjang dilengkapi dengan beberapa kursi sebagai mana ruang makan. Pada salah satu ujung meja, terdapat patung Soekarno, Hatta dan Soebardjo yang menggambarkan diorama saat perumusan naskah proklamasi.

Ruang pengetikan terdapat di bawah tangga, di dekat dapur. Di ruangan kecil itulah, Sayuti Melik dengan didampingi BM Diah mengetik naskah proklamasi yang sebelumnya ditulis tangan oleh Soekarno.

Di dalam ruangan itu terdapat sebuah meja, kursi dan mesin ketik dengan patung Sayuti Melik digambarkan sedang mengetik naskah proklamasi dikawani BM Diah yang berdiri.

Ruangan terakhir adalah ruang pengesahan. Ruangan yang berada tepat setelah serambi itu merupakan yang paling besar. Di ruangan itulah, konsep naskah proklamasi disetujui oleh hadirin yang datang serta disahkan dengan ditandatangani Soekarno-Hatta.

Saat ini, di ruangan itu terdapat satu meja besar dikelilingi beberapa kursi tanpa diorama. Di dinding terpasang foto-foto tokoh yang hadir saat itu.

"Semua benda yang ada di Museum ini sudah tidak ada yang asli. Kami menerima gedung ini dalam keadaan kosong. Akhirnya kami carikan benda-benda yang mirip dan sezaman," kata Edukator Museum Perumusan Naskah Proklamasi Ari Suryanto.

Pada 17 Agustus 1945 dini hari, menjelang pukul 03.00; Soekarno, Hatta dan Soebardjo memasuki ruang makan Maeda.

Menurut P Swantoro, dalam "Saat-Saat Penentuan Rumusan Proklamasi: Kisah Satu Malam yang Menentukan Masa Depan" dalam "Seputar Proklamasi Kemerdekaan" (2015) yang diterbitkan "Penerbit Buku Kompas", sebelum menuliskan kalimat pertama Soekarno sempat bertanya kepada Soebardjo apakah dia ingat rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar yang sudah disepakati Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebelumnya.

Soebardjo menjawab dia ingat, tetapi tidak semua kalimatnya. Soekarno kemudian mengatakan yang diperlukan hanya frasa yang relevan dengan proklamasi. Soebardjo kemudian mendiktekan kalimat pertama proklamasi.

Kalimat itu adalah "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia". Kalimat tersebut dipetik dari bagian terakhir alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang pada 18 Agustus 1945 akan disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Setelah kalimat tersebut ditulis, Hatta berpendapat itu saja tidak cukup. Kalimat itu terlalu abstrak tanpa isi. Kemerdekaan harus direalisasikan dengan konkret dan itu tidak akan bisa dilakukan tanpa kekuasaan di tangan bangsa Indonesia.

Akhirnya, Hatta menambahkan kalimat "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".

Konsep proklamasi itu kemudian dibawa kepada tokoh-tokoh lain yang sudah menunggu. Soekarni menyampaikan keberatannya. Menurut dia, konsep tersebut tidak berjiwa revolusioner, terlalu lemah dan lembek.

Dia tidak setuju dengan kalimat kedua karena tidak yakin Jepang mau memindahkan kekuasaan kepada bangsa Indonesia secara sukarela. Kekuasaan, kata Soekarni, harus direbut.

Karena itulah, pada konsep proklamasi tulisan tangan Soekarno, terdapat beberapa kata yang dicoret. Tampak kata "pemindahan" dicoret, kemudian di atasnya tertulis "penyerahan". Kata "penyerahan" kemudian dicoret lagi dan kata "pemindahan" ditulis kembali.

Coretan juga terlihat pada kata "diusahakan" yang kemudian diganti dengan kata "diselenggarakan".

Tentang keberatan Soekarni itu, RP Swantoro menulis Soebardjo mengatakan sesaat memang membangkitkan kesan mendalam bagi mereka yang hadir. Namun, hanya sesaat.

Soebardjo mengatakan para tokoh yang hadir sependapat bahwa terlalu banyak yang terbengkalai kalau hanya terlibat dalam argumentasi-argumentasi penuh emosi.

Bangsa Indonesia sudah mencapai satu hasil penting, yaitu persetujuan diam-diam pihak Jepang. Karena itu, lebih baik menghindari penggunaan kata-kata yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan sikap mereka.



Penandatanganan Proklamasi

Setelah konsep proklamasi kemerdekaan disetujui, kembali timbul pertentangan pendapat tentang siapa yang akan menandatangani naskah proklamasi.

Dalam buku komik "Peristiwa Sekitar Proklamasi" yang diterbitkan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, menurut anggota PPKI Teuku Mohammad Hasan, terdapat tiga usul yang diajukan dalam menandatangani naskah proklamasi.

Tiga usulan itu adalah semua yang hadir menandatangani, membagi setiap kelompok yang hadir kemudian satu orang perwakilannya menandatangani atau hanya ditandatangani Soekarno-Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI.

Kemudian Sayuti Melik mengusulkan agar hanya ditandatangani dua orang, yaitu Soekarno-Hatta saja. Usul Sayuti kemudian disambut Soekarni dengan mengatakan "Bukan kita semua yang hadir di sini yang menandatangani. Cukup dua orang saja menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia, yaitu Soekarno-Hatta".

Soebardjo, sebagaimana ditulis RP Swantoro, mengisyaratkan persetujuan mengenai siapa yang menandatangani naskah proklamasi tidak sesederhana itu. Awalnya, Soekarno mengusulkan agar ditandatangani dengan didahului "Wakil-Wakil Bangsa Indonesia".

Menurut sejarawan Rusdhy Hoesein, usulan ini mencontoh apa yang dilakukan pada Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang ditandatangani begitu banyak orang.

Soebardjo menduga yang dimaksud Soekarno dengan "Wakil-Wakil Bangsa Indonesia" adalah para anggota PPKI. Mengingat pada saat itu juga hadir pemuda dari kelompok Soekarni, kemungkinan usulan itu juga mencakup mereka.

Namun, ternyata Soekarni menolak usulan itu. Dia tampaknya tidak rela kelompoknya dideretkan senapas dengan anggota PPKI yang dianggapnya "kolaborator Jepang".

Penolakan Soekarni juga terjadi pada usulan supaya semua yang hadir menandatangani naskah proklamasi. Menurut dia, usulan itu tidak bisa diterima karena mereka yang tidak memiliki peran dalam mempersiapkan proklamasi tidak berhak menandatangani.

Menurut Soebardjo, yang dimaksud Soekarno itu adalah para pemuda yang berada di dalam ruangan, tetapi tidak termasuk kelompoknya.

Di tengah situasi panas itu, Sayuti Melik tampil dengan usulnya. "Saya kira tidak ada yang akan menentang kalau Soekarno dan Hatta menandatangani proklamasi atas nama bangsa Indonesia," katanya.

Usul itu akhirnya dilaksanakan karena diterima secara aklamasi disertai dengan tepuk tangan.



Pengetikan Proklamasi

Setelah seluruh konsep proklamasi disepakati, Soekarno kemudian meminta Sayuti untuk mengetik naskah tersebut. Sayuti terpilih untuk mengetik naskah proklamasi karena kebetulan berada di samping Soekarno.

Dalam "Kenangan Pribadi Sekitar Proklamasi: Menyongsong Kemerdekaan Dari Balik Terali Penjara" dalam "Seputar Proklamasi Kemerdekaan" (2015), Sayuti menulis beberapa saat sebelum peristiwa proklamasi, dia merupakan salah seorang pembantu pribadi Soekarno.

Karena kedekatan dengan Soekarno, Sayuti berkesempatan mengikuti peristiwa-peristiwa menjelang proklamasi kemerdekaan, termasuk ketika Soekarno ditemui perwakilan pemuda di rumahnya pada 15 Agustus 1945 dan pertemuan di rumah Maeda tersebut.

Sayuti sendiri yang menyebutkan kebetulan dia yang diminta Soekarno untuk mengetik naskah proklamasi. Dia menganggap apa yang dia lakukan bukanlah suatu peranan yang berarti.

"Ibarat pelaku dalam pertunjukan sandiwara hanya menjadi pelaku sampingan (figuran) yang diketemukan di tengah jalan saja," tulis Sayuti.

Karena di rumah Maeda saat itu tidak ada mesin ketik dengan huruf latin, yang ada adalah mesin ketik dengan huruf hiragana, pegawai Maeda bernama Satsuki Mishima kemudian pergi ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin ketik.

"Perlu diingat, saat itu pemerintah militer Jepang menerapkan jam malam. Tentu tidak mudah bagi para pemuda berkeliaran mencari mesin ketik, apalagi akan digunakan untuk mengetik naskah proklamasi kemerdekaan," kata Edukator Museum Perumusan Naskah Proklamasi Ari Suryanto.

Setelah mesin ketika didapatkan, Sayuti didampingi BM Diah kemudian mengetik naskah proklamasi di ruangan kecil di bawah tangga. Konsep proklamasi tulisan tangan Soekarno sempat tercecer, tetapi kemudian disimpan oleh BM Diah.

Naskah proklamasi yang sudah diketik itu kemudian dibawa ke tempat para hadirin. Pada 17 Agustus 1945, menjelang Subuh, Soekarno-Hatta menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia di atas piano milik Maeda. (bersambung) .

Oleh Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017