Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan lembaganya masih mendiskusikan terkait Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru untuk Setya Novanto.

"Itu masih kami diskusikan di dalam, masih kami bahas. Langkah selanjutnya kami harus kuat betul supaya tidak terjadi kegagalan lagi," kata Agus di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa KPK masih fokus dan mencermati dengan hati-hati terkait putusan praperadilan Setya Novanto tersebut.

"Kami masih fokus kepada putusan praperadilan, memang ada beberapa hal yang harus dicermati dengan hati-hati," tuturnya.

Pertama, kata dia, apakah penyidikan dilakukan lebih dahulu tanpa nama tersangka atau dengan nama tersangka langsung.

"KPK memahaminya ada ketentuan khusus di Undang-Undang KPK di Pasal 44 ayat 1 dan 4. Jadi, sejak penyelidikan kami sudah bisa mengumpulkan alat bukti dan ketika sudah ada minimal dua kami tingkatkan ke penyidikan," kata Febri.

Oleh karena itu, kata dia, karena sudah dua alat bukti dan sesuai dengan definisi tersangka di Pasal 1 angka 14 KUHAP di mana sudah ada bukti permulaan, maka sudah ada nama tersangka.

"Itu pemahaman KPK tetapi kalau ketentuan umumnya kalau hanya KUHAP kan penyidikan dulu, itu sedang kami cermati," ujarnya.

Kedua, kata Febri, salah satu pertimbangan yang mengatakan bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh KPK di praperadilan itu tidak bisa diakui karena dari perkara lain, dalam hal ini terkait putusan Irman dan Sugiharto.

"Karena putusan Pengadilan Tipikor justru menegaskan dalam amar putusan kedelapan itu bahwa lebih dari 6.000 barang bukti yang digunakan kasus tersebut digunakan seluruhnya untuk perkara lain. Jadi, ada dua putusan dengan pertimbangan yang berbeda," kata Febri.

Menurutnya, jika kita mengikuti putusan di Pengadilan Tipikor itu semua pihak yang diduga terkait kasus KTP-e pada perkara lain itu buktinya bisa digunakan.

Sebelumnya, KPK juga telah resmi mengajukan perpanjangan permintaan cekal ke luar negeri terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi KTP-e.

KPK sudah sekali meminta permintaan cegah tangkal ke luar negeri untuk Setya Novanto, yaitu pada 10 April 2017 dan akan habis masa berlakunya pada 10 Oktober 2017.

Ia dicegah tangkal ke luar negeri dalam kapasitasnya sebagai saksi proyek KTP-e.

Setnov tetap dicegah keluar negeri pasca-keputusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017, yang mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017