Musik memiliki efek-peran komprehensif, terutama di semua level kehidupan manusia. Musik adalah seni yang melibatkan waktu dan kombinasi suara yang dicirikan oleh elemen-elemen temporal-spasial.

Berbagai elemen musik tersebut, misalnya ritme, nada, dan berbagai komponen lainnya. Komponen-komponen ritmis mengatur energi seseorang atau tingkat arousal, sedangkan komponen-komponen nada mengatur emosional.

Di antara komponen-komponen nada, melodi dan harmoni merupakan variabel mayor. Harmoni merupakan struktur yang meliputi karakteristik nada secara vertikal-horizontal, dan diciptakan ketika lebih dari satu nada diproduksi secara serentak (vertikal) maju berproses bersama melodi (horizontal).

Saat berproses di dalam harmoni, ada berbagai tingkat kompleksitas di dalam harmonisasi, yang mendatangkan berbagai respons emosi dan afektif yang berbeda.

Di abad pertengahan, musik dibedakan menjadi tiga. Pertama, musica mundana. Tingkat spiritual, musik sebagai prinsip metafisik, sebagai jalan menuju pengalaman terdalam, kebenaran universal.

Kedua, musica humana. Tingkat jiwa atau pikiran, dimana potensi moral dan etika musik berkembang. Di tingkat ini, tidak lagi membicarakan dimensi sensoris musik, melainkan potensi memengaruhi mind dalam arah positif, membuka pemahaman ke dimensi etik.

Ketiga, musica instrumentalis. Tingkat fisik tubuh, dimana suara-suara musik (instrumental dan vokal) dapat didengar oleh manusia. Dari perspektif bottom-up, pengalaman musik merupakan prekondisi untuk memasuki "pintu gerbang" pengalaman di tingkat yang lebih tinggi.

Di masa Yunani kuno, Ctesibius (285-222 SM) dan Heron dari Alexandria (10-70 M) telah berhasil mendesain burung bernyanyi secara mekanis.

Di negara-negara Arab, saudara laki-laki Banu Musa (hidup di abad ke-9) dan Al-Jazari (1136-1206) mencatat penemuan mereka dengan ilustrasi, berupa self-operated fluted. Di era Cina kuno, Su Song (1020-1101) menggambarkan menara jam air dengan gambar yang mengisyaratkan waktu melalui suara drum ditabuh atau bunyi lonceng.

Selain itu, odometer dan jam pasir yang dapat berbunyi tercatat dalam literatur China selama abad ke-14. Memasuki abad ke-15, Jang Yeong-sil dari Korea menggambarkan jam airnya dengan gambar yang menunjukkan waktu.

Di abad ke-16, Leonardo da Vinci (1452-1519) dari Italia menggambar drum otomatis dan perangkat musik meriam dalam manuskripnya. Pada abad ke-17, insinyur Prancis Salomon de Caus (1576-1626), serta warga Jerman bernama Athanasius Kircher (1602-1680) dan Kaspar Schott (1608-1666) mencatat penemuan mereka yang berbasis air yang dapat bersuara secara otomatis.

Di abad ke-18, penduduk Jepang bernama Tagaya Kanchusen (hidup sekitar abad ke-18) dan Hosokawa Yorinao (hidup hingga tahun 1796) menjelaskan boneka automata mereka (yang disebut Karakuri) dengan berbagai ilustrasi. Di Prancis, Jacques de Vaucanson (1709-1782) mengilustrasikan gambar dengan drum dan seruling.

Di abad ke-19, seorang Italia bernama Giovanni Antonio Borgnis (1781-1863) berhasil mendesain perangkat musik rumit terbuat dari sisir dan silinder.


Definisi Terapi Musik
Terapi musik menurut Wigram (2000) adalah penggunaan musik di situasi sosial, edukasi, klinis untuk menerapi klien/penderita dengan kebutuhan psikologis, medis, sosial, dan edukasi.

Menurut World Federation of Music Therapy tahun 1996, terapi musik adalah penggunaan musik dan/atau elemen-elemen musik (suara, ritme, melodi dan harmoni) oleh terapis musik profesional dengan klien/kelompok, dalam proses yang dirancang untuk memfasilitasi dan mempromosikan komunikasi, hubungan, pembelajaran, mobilisasi, ekspresi, organisasi, dan tujuan-tujuan terapeutik relevan lainnya, untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi, mental, sosial, dan kognitif.

Terapi musik bertujuan untuk mengembangkan potensi, mengembalikan fungsi individu sehingga tercapai integrasi intra-interpersonal yang lebih baik, sehingga tercapai kualitas hidup yang lebih baik melalui pencegahan, rehabilitasi, atau pengobatan.

Jelaslah bahwa ada tiga faktor utama yang memengaruhi terapi musik, yakni: latar belakang profesional para praktisi, kebutuhan penderita, pendekatan yang digunakan di dalam terapi.

Di Eropa, tradisi terapi musik telah berkembang menjadi dasar dari pendekatan yang berorientasi psikodinamis-psikoterapeutik.

Seringkali seseorang menemukan suatu model di mana terapis secara aktif menggunakan musik melalui medium improvisasi klinis untuk menetapkan hubungan musik dengan para penderita, di mana mereka dapat membantu memahami pokok permasalahan dari problematika mereka.

Di Denmark, terapi musik dilakukan di tingkat psikoterapeutik. Sehingga definisi terapi musik mengacu secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan terapeutik klien akan perkembangan psikodinamis dalam relasi itu.

Terapi musik juga dipraktikkan oleh populasi non-klinis, dimana orang-orang mencari terapi untuk mengeksplorasi sumber, menemukan jatidiri, mencapai kesehatan dan kehidupan yang lebih baik.

Tujuan terapi tentunya bervariasi. Oleh karena itu, ada berbagai definisi terapi musik bergantung kepada filosofi atau pendekatan (kelompok) praktisi.

Misalnya: terapi musik perilaku, dimana terapis menggunakan musik untuk meningkatkan, memodifikasi perilaku yang sesuai dan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang kurang tepat. Pada situasi ini, musik dapat digunakan sebagai penguatan positif atau negatif.

Terapi musik psikoterapeutik, dimana musik digunakan untuk membantu klien mendapatkan pemahaman terhadap dunianya, kebutuhannya, dan kehidupannya, serta di mana suatu pendekatan psikodinamis aktif akan memperoleh kesadaran tentang berbagai permasalahan, pemikiran, perasaan, perilaku, dan konflik.

Terapi musik edukasi, dimana terapi musik berada di dalam institusi pendidikan, dimana tujuan-tujuan program edukasi berpengaruh terhadap pendekatan terapi musik.

Di sinilah para terapis musik dapat menemukan tujuan mereka terkait dengan proses pembelajaran, perkembangan, realisasi potensi dan memenuhi kebutuhan anak-anak terkait dengan program pendidikan mereka

Model Terapi Musik
Ada berbagai model tingkat musik dan terapi musik. Ruud (1990) memperkenalkan suatu model empat tingkat musik, membedakan antara empat properties dan empat tingkat pengalaman, pemahaman, dan analisis.

Pertama, tingkat fisiologis. Musik sebagai fenomena suara fisik (the `material- properties). Analisis di tingkat ini berfokus kepada efek-efek fisiologis dan potensi medis musik. Singkatnya, musik sebagai stimulus.

Kedua, tingkat sintaktis. Musik sebagai fenomena estetis: elemen-elemen musik terstruktur dan terorganisasi. Analisis di tingkat ini, yakni analisis musik akademis tradisional, berfokus kepada deskripsi dan interpretasi yang tepat terhadap elemen-elemen musik, peran di dalam proses musik, saling mempengaruhi dan fungsi di dalam interaksi musik.

Singkatnya, musik sebagai terapi. Ketiga, tingkat semantik. Musik sebagai ekspresi dan arti: "pesan" atau petunjuk musik terhadap dunia eksternal atau internal. Analisis di tingkat ini berfokus kepada interpretasi musik sebagai metafora, ikon, indeks atau simbol, dan makna musik untuk klien, interplay dan hubungan terapeutik.

Singkatnya, musik di dalam terapi. Keempat, tingkat pragmatis. Musik sebagai fenomena sosial-interaktif: peran musik di dalam proses terapeutik atau konteks sosial. Analisis di tingkat ini berfokus kepada potensi interaksi musik dan efeknya terhadap terapi. Singkatnya, musik sebagai komunikasi dan interaksi sosial.

Menurut Bruscia (1998), ada enam model dinamis terapi musik. Pertama, musik sebagai tujuan pengalaman.

Hal ini mengacu ke praktik menggunakan properti musik secara langsung untuk mempengaruhi tubuh atau perilaku penderita dalam cara yang mudah terobservasi. Kedua, musik sebagai bentuk energi universal.

Maksudnya, penggunaan musik sebagai "bentuk energi kehidupan", secara universal memiliki pola vibrasi dan suara dengan efek penyembuhan. Singkatnya, musik sebagai manifestasi keseimbangan alam semesta. Ketiga, musik sebagai pengalaman subjektif.

Hal ini terkait dengan penggunaan proses-produk (ber)musik sebagai representasi penderita dan bagaimana dirinya berelasi dengan dunia "self", lainnya, dan objek.

Dengan kata lain, improvisasi atau mendengarkan musik sebagai eksplorasi nilai-nilai penderita, hubungan terkait self dan lainnya dalam cara yang bermakna.

Keempat, musik sebagai pengalaman kolektif (sosiokultural). Hal ini berarti musik ditempatkan di dalam framework sosiokultural yang lebih luas, untuk berbagi identitas orang-orang yang merupakan bagian dari komunitas.

Kelima, kekayaan estetika musik memungkinkan penderita mengalami keindahan dan makna (meaning), dalam musik sendiri atau aspek-aspek kehidupan yang diwakili atau direpresentasikan oleh musik.

Keenam, properti transpersonal musik memungkinkan melintasi batas-batas model dan melaju melalui kesatuan dan keseluruhan. Batas-batas analisis musik juga dilewati: modalitas pengalaman ini hanya dapat dideskripsikan ke tingkat terbatas.

Otak dan Terapi Musik
Perspektif neurosains dan neurologi berhasil mengungkapkan daerah di otak terkait musik.

Bernyanyi tampaknya merupakan fungsi otak bagian kanan, namun lagu-lagu memiliki lirik (bahasa) yang dikendalikan oleh fungsi-fungsi dari otak bagian kiri.

Hasil investigasi menggunakan scan PET (Positron Emission Tomography) menemukan bahwa ada penurunan suplai aliran darah mendekati 10% ke otak bagian lobus temporal kanan, mengindikasikan bahwa area ini penting di dalam apresiasi bentuk seni kompleks, termasuk musik.

Banyak ahli telah meneliti efektivitas intervensi terapi musik untuk memperbaiki dan mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan penderita disabilitas autisme, menilai gangguan komunikasi, gangguan neurologis (termasuk penyakit Alzheimer, Parkinson, korea Huntington, dsb).

Intervensi terapi musik juga telah dirasakan pada tatalaksana insomnia primer. Terapi musik efektif mengatasi insomnia primer dibuktikan dengan skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas tidur rata-rata, latensi onset tidur, dan efisiensi tidur.

Selama pelayanan klinis penderita insomnia primer, aplikasi terapi musik merupakan intervensi lini pertama dan non-farmakologis. Terapi musik ini dapat dikombinasikan dengan relaksasi yang juga diiringi musik.

Orang dewasa yang sulit tidur disarankan mendengarkan musik sebelum tidur di malam hari.

Penggunaan sesi terapi musik reseptif tunggal juga efektif sebagai intervensi psikososial untuk memulihkan kondisi pasien yang baru saja pulih dari transplantasi sumsum tulang dan darah.

Selain itu, mendengarkan musik juga efektif mengurangi bahkan menghilangkan cemas pada orang dewasa di ruang gawat-darurat.

Musik juga membantu banyak orang untuk memahami kedekatan dan penyatuan dengan orang lain dan alam semesta, sekaligus menguatkan ikatan emosional. Musik memang alat pemersatu yang universal.

Hal ini terbukti dalam musik di seluruh dunia yang digunakan saat upacara pemakaman, pernikahan, upacara adat dan keagamaan, perayaan hari besar, dan pertemuan keluarga.

Meskipun terapi musik terbukti bermanfaat, pemilihan musik untuk dewasa penderita skizofrenia tetap perlu mempertimbangkan tingkat harmonic progression dan kompleksitas.

Implementasi terapi musik pada taman bermain, playgroups, PAUD, dan taman kanak-kanak dapat membuka pemahaman baru terhadap cakrawala terapi musik yang memang telah terbukti efektif menyembuhkan penyakit tertentu, kulturalisasi, inovasi sistem edukasi, dan juga penunjang layanan kesehatan.

Penulis  :  dr. Dito Anurogo, MSc. *    :  alumnus S-2 IKD Biomedis FK UGM, Pendiri Indonesia Menulis (Writenesia), penulis 19 buku, dan anggota peneliti Pusat Studi Bioetik Islam dan Hukum Kedokteran Islam (Biohuki) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) Yogyakarta

Pewarta: pewarta
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017