Sukabumi (ANTARA News) - Sehubungan dengan wacana-wacana dari negara Barat, termasuk di Australia beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa pondok pesantren (Ponpes) merupakan "sarang terorisme", diperlukan dialog antarpihak yang menganggap bahwa Ponpes atau pendidikan Islam itu "sarang teroris" dengan pemerintah Indonesia. "Ini perlu dilakukan agar masalah terorisme ini bisa `clear`," kata salah satu pemimpin muda Muslim asal Australia, Mansheed Ansari, di sela-sela kunjungannya pada acara peresmian Madrasah Al-Hidayah di Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa. Sebanyak lima pemimpin muda Muslim asal Australia, Selasa pagi menghadiri peresmian Madrasah Al-Hidayah di Sukabumi, yang merupakan salah satu dari 2.000 sekolah yang pembangunannya didanai Australia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui "Basic Education Program". Mereka datang ke Indonesia sebagai bagian dari Program Persaudaraan Muslim Indonesia-Australia. Bahkan, kata dia, bagi pihak-pihak tertentu yang mengganggap bahwa pendidikan Islam itu adalah "sarang teroris" perlu melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Islam yang ada di Indonesia, agar mereka tahu kondisi sebenarnya bahwa di sekolah Islam itu tidak seperti yang dipahami dengan stigma negatif selama ini. "Mereka menyatakan itu karena mereka tidak tau kondisi pendidikan Islam itu seperti apa," kata Mansheed Ansari, yang studi di "University of Western", Sydney. Pemimpin muda Muslim Australia lainnya, Sarah Malik, mengaku dirinya tidak pernah berfikir bahwa sekolah pendidikan Islam itu merupakan "sarang teroris". "Sekolah Islam di Indonesia dan di Australia tidak jauh berbeda, meski di Australia merupakan komunitas kecil," katanya. Ikhwal adanya pandangan miring mengenai Ponpes, bahkan juga disampaikan cendekiawan sekelas Prof Dr Arief Budiman, yang juga Guru Besar Ilmu Politik Universitas Melbourne, Australia. Ia pun, mengakui tidak mudah mengubah pandangan Barat atas posisi Ponpes. Dalam acara dialog bertema "Islam Fobia Barat dan Radikalisme Islam di Indonesia" di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Jawa Tengah, pada awal Juli 2006, ia mengakui pandangan Australia tentang Ponpes Ngruki di Surakarta, Jawa Tengah, sebagai "sarang teroris" selama ini tidak benar. Bahkan dirinya telah menyampaikan kepada Australia tentang kondisi Ponpes itu sebenarnya, tetapi mereka masih belum dapat menerimanya. "Mereka masih belum percaya karena pendapat umum masyarakat Australia masih terpengaruh gambaran dunia tentang Islam. Yakni pandangan Presiden AS, George W Bush bahwa Islam identik dengan kelompok teroris," kata Arief Budiman, yang pernah mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu. Arief juga menjelaskan dirinya telah mendatangi Ponpes Ngruki Solo, yang disebut-sebut sebagai "sarang teroris", namun ternyata apa yang menjadi pandangan Australia itu sangat berbeda, setelah diketahui di Kampung Ngruki di Solo itu ada warga Kristen yang mendiaminya. Meski demikian, ia mengungkapkan banyak pula orang Australia yang tidak yakin jika Indonesia, terutama kelompok Islamnya, merupakan bagian dari teroris. Menurut dia, orang yang beranggapan seperti itu umumnya pernah tinggal di Indonesia. Tak ada intervensi Sementara itu, Direktur Pendidikan Madrasah Departemen Agama, Firdaus Basuni mengemukakan pihaknya sangat bersyukur dengan adanya bantuan dari pemerintah Australia untuk membangun sebuah bangunan sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Sukabumi yang dananya mencapai Rp1,02 miliar lebih. "Bantuan dari pemerintah Australia itu patut disyukuri dan Australia tidak melakukan intervensi sama sekali tentang metode yang diajarkan disekolah ini," katanya. Menurut dia, dengan adanya bantuan dari pemerintah Australia ini, pihaknya berharap isu mengenai pendidikan islam di Indonesia merupakan sarang teroris oleh masyarakat asing bisa dihilangkan," katanya. Sementara itu, Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Australia, Fiona Hoggart, yang menghadiri acara peresmian Madrasah Al-Hidayah mengatakan sekolah ini merupakan program infrastruktur terbesar Australia di kawasan Asia Pasifik. "Program Pendidikan Dasar (Basic Education Program) senilai 355 juta dolar Australia ini akan mendanai pembangunan dan perluasan 2.000 SMPN dan madrasah di 20 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun," katanya. Dikatakannya dari 2.000 sekolah yang akan dibangun itu, 500 sekolah untuk madrasah yang dibangun melalui Depag dan 1.500 lainnya untuk sekolah umum yang dibangun melalui Diknas. Pembangunan sekitar 1.000 sekolah diperkirakan selesai pertengahan tahun 2008, katanya. Program pembangunan ini akan menciptakan ruang belajar bagi 330.000 anak berusia 13-15 tahun, dan menargetkan mereka yang berasal dari daerah miskin dan terpencil. "Jangan sampai anak-anak di daerah terpencil tidak bisa skolah hanya karena letak sekolah dengan tempat tinggal mereka sangat jauh atau tidak adanya sekolah di daerah mereka," katanya. Dicontohkannya, di sekitar Madrasah Al-Hidayah Sukabumi itu terdapat kekurangan ruang belajar untuk sekitar 100 anak. Dengan selesainya pembangunan Madrasah Al-Hidayah, maka diharapkan 100 anak-anak tersebut dapat meneruskan pendidikannya ke tingkat menengah pertama. "Lokasi-lokasi sekolah ditentukan berdasarkan hasil penaksiran akan kebutuhan yang belum terpenuhi, tingkat pendaftaran sekolah dan keterlibatan masyarakat," demikian Fiona Hoggart. (*)

Copyright © ANTARA 2007