Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Irvanto Hendra Pambudi yang juga keponakan Setya Novanto tersebut dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan penganggaran di Bakamla RI dengan tersangka Fayakhun Andriadi.

"Tadi Irvanto kami periksa sebagai saksi untuk perkara lain jadi bukan untuk perkara KTP-e. Irvanto kami periksa sebagai saksi untuk tersangka Fayakhun Andriadi dalam kasus dugaan korupsi terkait dengan pengadaan penganggaran di Bakamla," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Irvanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e).

"Saya belum dapat informasi lebih rinci materi pemeriksaannya apa tetapi keterangannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi beberapa fakta persidangan yang sebelumnya sempat muncul baik di kasus KTP-elektronik ataupun di kasus Bakamla tersebut," kata Febri.

Sebelumnya dalam persidangan, Managing Director PT Rohde and Schwarz Erwin Arif mengakui bahwa proyek "satellite monitoring" dan "drone" di Bakamla melibatkan Setya Novanto.

"Kalau SN ini maksudnya siapa?" tanya jaksa penuntut umum KPK Kiki Ahmad Yani dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (24/1) lalu.

"Kalau SN saya sebenarnya tidak kenal, dugaan saya Setya Novanto karena menyangkut Golkar," jawab Erwin.

Erwin bersaksi untuk mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Nofel Hasan yang telah divonis empat tahun penjara karena terbukti menerima suap 104.500 dolar Singapura (sekitar Rp1,045 miliar).

KPK telah menetapkan Fayakhun yang merupakan anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar itu sebagai tersangka pada 14 Februari 2018.

Fayakhun selaku anggota DPR periode 2014-2019 diduga menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.

Fayakhun diduga menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa dia atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan RKAKL dalam APBN Tahun 2016 yang akan diberikan kepada Bakamla RI.

Fayakhun disangkakan menerima uang senilai Rp12 miliar dan 300 ribu dolar AS ketika masih menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Saat ini, ia sudah tidak lagi berada di komisi tersebut, tapi duduk di Komisi III yang bermitra dengan KPK.

Fayakhun diduga menerima "fee" atau imbalan atas jasa memuluskan anggaran pengadaan satelit monitoring di Bakamla pada APBN tahun anggaran 2016 sebesar 1 persen dari total anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau senilai Rp12 miliar dari tersangka Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya M Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.

Selain itu, Fayakhun juga diduga menerima uang sejumlah 300 ribu dolar AS.

Fayakhun disangkakan melanggar 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018