Jakarta (ANTARA News) - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyarankan Mahkamah Konstitusi mendahulukan penyelesaian gugatan tentang "presidential threshold" daripada gugatan tentang masa jabatan wakil presiden.

"Karena gugatan presidential threshold lebih penting," kata ahli hukum tata negara sekaligus pendiri PSHK Bivitri Susanti di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, putusan terhadap gugatan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden yang diajukan oleh Busyro Muqoddas dan kawan-kawan memiliki implikasi yang luas.

"Gugatan masa jabatan wapres dampaknya cuma ke Pak JK saja," ucapnya.

Apabila gugatan penghapusan presidential threshold dikabulkan maka akan muncul calon-calon alternatif untuk Pilpres 2019 selain Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.

Secara argumen hukum, gugatan penghapusan presidential threshold juga lebih kuat karena konstitusi tidak mengatur ambang batas pencalonan presiden, berbeda masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Selain itu, tambah Bivitri, tidak logis menjadikan konstelasi politik tahun 2014 sebagai dasar pijakan untuk Pilpres 2019 karena konstelasi politik sudah pasti berubah dalam lima tahun.

Sementara gugatan tentang masa jabatan wapres yang diajukan Perindo menurut Bivitri lemah dalam argumen hukum.

"Menurut saya yang dipertanyakan Perindo, seperti mempertanyakan Pasal 7 UUD, argumennya sangat lemah, lebih layak ditolak," tuturnya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018