Kita lihat, pertumbuhan ekonomi kita selama setengah abad ternyata tidak menghasilkan cadangan pembangunan. Ini karena sejak pintu utang luar negeri ini masuk, kita langsung ditekan dengan cara-cara yang merugikan kepentingan ekonomi domestik kita.
Jakarta (Antara) - Pemerintah diminta untuk fokus menurunkan rasio utang dan defisit fiskal selepas rampungnya pertemuan tahunan IMF-WB 2018 di Bali.

Pengamat ekonomi Suroto di Jakarta, Selasa, mengatakan pekerjaan rumah setelah rampungnya pertemuan IMF-WB bagi Indonesia adalah menyelesaikan masalah moneter dan fiskal dalam negeri.

"Utang jatuh tempo tahun depan akan menekan posisi fiskal kita. Utang jatuh tempo kita 2019 tercatat lebih tinggi 6,51 persen dibandingkan utang yang harus dibayar pemerintah pada tahun ini yang sekitar Rp384 triliun," katanya.

Ia mencatat, seperempat dari total APBN berpotensi akan tersedot untuk membayar utang. "Jadi pemerintah harus melakukan dua tugas penting. Lakukan merescheduling utang sekaligus mengupayakan untuk menurunkan rasio defisit pembayaran dan perdagangan," katanya.

Ia menekankan bahwa penjadwalan pembayaran utang ini harus dilakukan. "Pertemuan di Bali yang lalu itu tidak berarti sebuah kesuksesan apapun kalau upaya penjadwalan ulang saja tidak bisa dilakukan," katanya.

Menurut dia, pemerintah harus memastikan untuk memiliki strategi yang cukup dalam menurunkan rasio utang sebab utang itu adalah alat kendali negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia.

Masalah defisit neraca pembayaran dan perdagangan yang terjadi saat ini, kata Suroto, juga diawali dari utang. "Kita lihat, pertumbuhan ekonomi kita  selama setengah abad ternyata tidak menghasilkan cadangan pembangunan. Ini karena sejak pintu utang luar negeri ini masuk, kita langsung ditekan dengan cara-cara yang merugikan kepentingan ekonomi domestik kita," kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES).*

Baca juga: Pengamat: Rasio utang terhadap PDB masih aman

Baca juga: Fadli Zon soroti persoalan rasio utang


 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018