Ini problem besar terutama karena terpengaruh mitos-mitos sehingga banyak pengobatan tradisional yang tidak jelas
Yogyakarta  (ANTARA News) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) segera menyusun regulasi pengobatan pertama pada penyakit akibat gigitan ular dan hewan-hewan laut berbisa dengan mengacu standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kami akan mengundang para ekspert untuk menyusun regulasi," kata Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Farichah Hanum saat jumpa pers di sela acara "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018 di Yogyakarta, Rabu.

Menurutnya regulasi itu akan tertuang dalam Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Kemenkes. Regulasi itu diperlukan mengingat masih banyaknya rumah sakit serta pusat terapi tradisional yang menerapkan prosedur yang tidak tepat dalam mengobati penyakit akibat gigitan ular.

"Di WHO sebetulnya sudah ada panduan, semestinya tinggal diterapkan di Indonesia," ujar dia.

Selain menyusun regulasi, sebutnya Kemenkes juga akan memfasilitasi sarana dan prasarana pengobatan penyakit akibat gigitan ular sesuai standar WHO.

Baca juga: Ahli racun ASEAN kumpul di Yogyakarta bahas penanganan gigitan ular

"Ini kewajiban Kemenkes untuk memenuhi.Tapi tidak kalah pentingnya juga edukasi ke masyarakat mengenai pengobatan itu dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami," lanjut dia.

Presiden Toxinologi Society of Indonesia, Tri Maharani mengakui sebagian besar rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia hingga saat ini belum menerapkan standar WHO.

Sebagian besar, kata dia masih menerapkan cara tradisional seperti mengikat di atas bagian tubuh yang terkena gigitan, menyedot luka gigitan ular, menyayat bagian yang terkena gigitan ular, hingga menggunakan kunyit. Padahal, cara itu justru membuat pasien semakin parah.

"Ini problem besar terutama karena terpengaruh mitos-mitos sehingga banyak prosedur pengobatan tradisional yang tidak jelas," tambah Tri yang juga Koordinator Remote Envenomation Consultant Service (RECS) Indonesia ini.

Ia menyebutkan berdasarkan data RECS pada 2017 jumlah pasien meninggal dunia akibat penanganan yang tidak tepat mencapai 35 orang atau 4,8 persen dari sebanyak 728 kasus pasien terkena gigitan ular berbisa.

Kegiatan "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018" yang berlangsung di Yogyakarta 23 hingga 26 Oktober diikuti oleh puluhan tenaga medis dan ahli toksinologi dari negara-negara anggota ASEAN untuk bertukar pengalaman mengenai penanganan gigitan ular dan hewan laut berbisa lainnya.

Dalam simposium internasional itu Toxinology Society of Indonesia dan Malaysian Society on Toxinology juga menandatangani nota kesepahaman kerja sama dalam hal edukasi, pelatihan dan riset penanganan dampak gigitan ular dan hewan berbisa. 

Baca juga: Ahli: penanganan gigitan ular belum berstandar WHO

 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018